13. Dia Ini Siapa?

3.2K 60 0
                                    

Bersamaan waktu itu A Bin juga terbawa dalam keadaan sedih, di dalam hati membara api dendam, menganggap orang tua ini entah In-kiam atau Giok-kiong, sama-sama adalah biang pembunuh ayahnya, dia ingin membunuh orang ini untuk membalas dendam. Maka dia menggemeratakan gigi dengan kencang, membelalakan mata amarah, menghampiri orang tua linglung itu.

Dalam keadaan pikiran sedang penuh dengan dendam, A Bin hanya melihat tubuh orang tua itu, yang lain tidak dilihat dan tidak didengar, sepuluh jari tangan menekuk bagaikan cakar, pelan-pelan diarahkan ke atas kepala orang tua yang terbaring ditanah, tidak bisa menghindar.

Dalam waktu sekejap orang tua itu akan mati dibawah sepuluh jari A Bin, mendadak terdengar satu suara sedih, satu benda berbulu dan empuk jatuh ke dada A Bin, ternyata monyet kecil itu melihat A Bin ingin mencelakakan orang tua itu segera menerkam A Bin, sepasang cakarnya yang tajam, sepasang gigi runcing, mencakar dan menggigit tubuh A Bin, membuat A Bin pelan-pelan sadar kembali.

Dengan tingkat ilmu silat A Bin, hanya dengan satu telunjuk saja dia sudah bisa buat monyet itu mati, tetapi begitu sadar kembali, jiwa rasa sayang dia pulih kembali, menghadapi monyet kecil yang setia dan berani, A Bin merasa turut simpati, dan pelan-pelan menahan api dendam dalam dadanya, sambil menahan cakaran dan gigitan monyet kecil itu.

Monyet kecil itu tidak bisa bergerak dalam pegangan A Bin, hanya bisa memekik-mekik, orang tua itu seperti terkena setrum, kedua tangan menepuk tanah, meloncat lagi, menyerang A Bin sambil dengan marah berteriak:

"Siapa yang berani melukai anakku Kau-ji, siapa....."

Orang tua itu seperti harimau marah, biarpun kedua kaki sudah buntung, gerakannya masih cepat menerkam A Bin, A Bin tidak berani melawan ujung tenaga itu, dan punya niat tidak akan mencelakakan lawan, terpaksa merubah posisi menghindar kesamping.

Orang tua itu tidak dapat membedakan arah, terus melesat menuju tembok dibelakang badan A Bin, sepuluh jari dia tertancap masuk ke tembok beberapa inci, hingga tubuhnya menggantung sambil bergoyang goyang, mulut terus menerus meratap tangis:

"Kau-ji! Kau-ji! Kau! Kau dimana?"

A Bin melihat kejadian itu, merasa sedih dan turut meneteskan air mata, dia sudah menghilangkan rasa dendam, berbalik menjadi kasihan pada orang tua itu, timbul pikiran aneh di dalam kepalanya, dari tiga pendekar wahid, kematian ayah dengan salah satu orang dari In-kiam atau Giok-kiong lebih bagus, melihat orang tua linglung ini tiap hari tersiksa oleh penyesalan, lebih tertekan dalam batinnya, lebih pedih dari pada mati, berapa besar dosanya pun sudah terlunasi.

Dengan menggendong monyet kecil A Bin pelan-pelan menghampiri orang tua itu, dengan bantuan satu tangan dia menurunkan orang tua yang sudah kelelahan, disandarkan untuk duduk di pinggir tembok, dan pelan-pelan menaruh monyet kecil itu ke dada orang tua itu.

Anak monyet itu seperti mengerti pikiran orang, mengetahui A Bin tidak akan mencelakakan dia dan orang tua, maka dalam pelukan orang tua itu, berbuat lucu seperti bayi ingin disayang.

Orang tua itu seperti mendapatkan kembali benda pusaka, menggendong anak monyet itu dengan erat, sambil berkata:

"Kau telah kembali! Kau-ji! Kau tidak akan tinggalkan kakek bukan? Kau mesti tahu, kakek adalah orang baik, kejadian di puncak gunung entah kenapa bisa terjadi? Aku sendiri tidak mengerti, Kau-ji, kau tidak akan menyalahkan kakek kan! Kau tidak....."

Melihat kejadian yang memilukan itu, A Bin membayangkan bila dia juga dalam pelukan ayahnya, akan bagaimana rasanya? Emosi sedih membuat dia meneteskan air mata....

Setelah berbicara sendiri beberapa saat, orang tua itu menaruh monyet itu dipinggir, merangkak di tembok gua, dan meraba-raba dibawah bangku batu, mengeluarkan sebuah benda, A Bin melihat dengan jelas benda itu adalah busur putus yang tinggal separahnya, entah dari mana benda itu datangnya, dan melihat kembali orang tua itu mengeluarkan potongan ujung pedang, kedua mata orang tua itu memperhatikan kedua senjata yang sudah cacad sambil berkata sendiri:

Legenda Golok Halilintar - Lan LiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang