Lega

12 2 0
                                    

'Kenapa lo gak cerita aja sih Rei?' Tanya Ipul

Sesuai rencana, sepulang sekolah kami menyempattkan diri ke warkop, namun Iki tak ikut, entah mengapa, sepertinya ia masih kesal denganku.

'Gue nunggu waktu yang tepat,'
'Tapi gak seharusnya lo jadi suka nyari alesan buat ketemu dia, harusnya lo jujur aja,' sambung Alvian
'Iya, sorry ya bro,'
'Terus kenapa Iki marah banget?' Tanya Ipul
'Iki suka sama Syirin?' Sambung Alvian
'Enggak lah Min,' ucap Didi
'Gue gak tau, dia emang dari kemarin maksa gue buat nemuin Syasya, tapi gue emang selalu bilang sibuk. Bro, gue gak tau apa yang gue rasain, gue kayak nemu lagi, nemu seseorang yang bikin gue jatuh,'
'Jadi lo ingkarin perkataan lo nih? yang katanya mau fokus, dan gak mau mikirin cewek dulu?'
'Gue bukan tipe cowok yang gampang jatuh cinta, gue gak pernah percaya sama adanya cinta pada pandangan pertama, tapi semenjak Syirin hadir, dia ngubah persepsi itu, dia bisa buktiin kalau cinta pandangan pertama itu emang nyata.' aku menyenderkan tubuhku di tembok seraya meneguk sedikit kopi dan kembali berbicara 'gue gak ada niat buat ingkar, tapi pada kenyataannya emang gak ada yang bisa nebak alurnya perasaan.'

Kami terdiam sejenak, suasana menjadi hening, aku tau mereka semua sedang menelaah perkataan ku tadi.

'Jadi lo udah jatuh cinta sama dia dari pas-'
'Iya dari pas lo ngegebok palanya Lulu,' ucapku memotong perkataan Ipul.

Alvian menatapku dalam- dalam dan memegang bahuku.

'Rei, yang waktu gue ketemu lo di deket pertigaan rumahnya Syirin itu berarti?'
'Iya sorry Min gue bohong, gue abis nganter dia,'
'Astaga, Rei. Lo gak seharusnya bohong kayak gitu,'

Aku tak henti-hentinya meminta maaf kepada mereka. Namun pada dasarnya mereka memang sahabatku, mereka yang selalu mengertiku, mereka memahami posisiku, tapi entah dengan Iki.
Aku memang tak bisa lama-lama di warkop ,karena aku akan intensif les minggu ini.

*******

Hatiku memang lega, karena teman-temanku sudah mengetahui yang sebenarnya. Namun aku masih bingung dengan anak satu itu, Iki. Dia selalu membuat emosi belakangan ini, tetapi aku coba untuk bersabar, dan tidak terpancing dengan sikapnya.

Ketika baru saja sampai disekolah aku sudah di pertemukan dengannya. Senyum yang memancar dari wajahnya membuat semangatku tiba-tiba membara, namun ia memang masih terlihat pucat dan sedikit sembab, entah ada apalagi dengannya.

'Rin,'
'Eh, Kak,'
'Sembab mulu wajah lo,'

dia hanya tersenyum tanpa membalas perkataanku.
'Doain ya, besok gue ujian,'
'Haha iya, pasti kok.'
'Jangan iya-iya doang tapi gak dilakuin,'
'Gak usah sok tau, nanti sekalian gue bacain doa supaya Pak Muzal jauhin lo dehh,'
'Haha, kenapa emang? Lo cemburu ya dia perhatiin gue mulu?' Ucapku meledeknya
'Yeh, gue waras kaliiii, masa gue cemburu sama bapak-bapak,'
'Ohh.... berarti kalau sama ibu-ibu cemburu dong,' ledek ku sambil tertawa kecil
'Apa sih lo Kak, udah ah gue duluan yaa bye,'

Aku dan Syirin memang semakin dekat bahkan aku sangat hobi menulis surat untuknya dan ku titipkan kepada teman kelasnya, dan isi suratnya benar-benar tidak penting, hanya sekedar satu dua atau tiga kata, 'jangan sembab terus,' itu kata-kata yang kemarin aku kirim untuknya.

*******
'Ih Kak Rei!'

Teriaknya membuatku membalikan badan, dan menahan senyum karena aku tau apa yang akan ia katakan.
'Kenapa Rin?'

Dia menunjukan surat yang ku kasih dan wajahnya menekuk.

'Makan mulu gendut,' aku membaca suratnya dan aku pura-pura tidak tahu ' Apaan tuh?'
'Ih lo setiap istirahat nitip surat ketemen gue, gue malu. Mana isinya ginian lagi, emang gue gendut apa!'
'Hahahaha,' aku tertawa sekaligus mengusap kepalanya, alias memberantakan rambutnya.
'Gak usah pegang-pegangg ihhh,'
'Abisnya lo tadi gue liat jajan banyak banget, gak makan seminggu?'
'Ih tau ah, gue mau pulang!'
'Jangan baperr, pulang sama siapa?'
'Dijemput nyokap,'
'Yaudah, hati-hati ya ,gue pulang duluan mau belajar .Disimpen ya suratnya,' ucapku sambil tersenyum lebar

Aku senang melihat raut wajahnya yang cemberut, menurutku itu sangat menggemaskan walaupun aku tahu ia sangat jengkel kepadaku tadi, namun tak apa, aku jadi selalu bisa mendengar suaranya.

The Rain in the Summer[editing]Where stories live. Discover now