Pergantian Masa

7 0 0
                                    

Pagi ini kami akan kembali ke Jakarta, kereta kami akan berangkat pukul 06.00, aku dan Kak Siska sudah ada di stasiun sejak jam setengah enam. Setengah jam kemudian kereta yang kami tunggu-tunggu tiba, aku dan Kak Siska langsung bergegas masuk ke kereta dan duduk di tempat milik kami.

'Huh.' Gumam Kak Siska
'Kenapa?'
'Leo sakit, masih jetlag tuh anak,'
'Gila, selama itukah? Hahahaha,' aku tertawa karena memang ini konyol bagiku
'Gak usah ketawa gitu,' wajah Kak Siska seketika berubah menjadi bete dan membuang wajahnya dariku

Setelah 8 jam diperjalanan, akhirnya kami sampai di Stasiun Gambir, dan dijemput oleh orangtua kami, ketika bertemu, ibu langsung memeluk aku dan Kak Siska seperti sudah dua tahun tidak berjumpa, sedangkan ayahku mencium kening kami. Tak menghabiskan banyak waktu, kami langsung menuju mobil dan rasanya aku ingin cepat sampai rumah.

'Gimana, Nak?'
'Alhamdulillah Bu, lancar,'
'Alhamdulillah,'

Terlihat senyuman padat di wajah kedua orangtuaku, aku sangat bersyukur dan bahagia dengan keadaan ini. Kak Siska bersandar di pundak ibuku hingga tertidur, sedangkan aku dan ayahku mengobrol tentang keadaan kampus disana.

******
Malam ini penuh bintang, aku melihat salah satu bintang yang paling cerah, dia berkelap kelip seakan menggoda bulan, namun bulan tetap diam dan semakin malam semakin hilang.
Aku teringat akan wajah indahnya, teringat akan tawanya, teringat akan suaranya, teringat akan tatapannya, teringat akan pelukannya yang tak sengaja. Aku teringat semua tentang Syirin. Aku memang tak berhak seperti ini, aku murni tidak memiliki hubungan apapun dengannya, ia juga terlihat dingin dan seperti tak mengharapkan aku ada, ia adalah cinta yang tercipta dengan beribu tanya tanpa jawaban.

Aku teringat pula dengan ucapan kakakku, apakah iya Syirin menyimpan sebuah rasa yang tak mampu dia ucapkan dengan kata? Aku memang menyimpulkan, ia adalah sebuah tanda tanya besar yang berputar, yang belum dan tidak tahu kapan akan ditemukan jawabnya.

***
Pagi ini aku harus ke sekolah untuk menemui Bu Lisa dan memberitahu tentang kampus disana, sekolah terlihat sepi dan hanya ada satu atau dua anak kelas 12 yang berlalu lalang.
'Kemarin kesana sama siapa Rei?' Tanya Bu Lisa sambil membaca berkas-berkas dari kampus
'Dianter kakak, Bu,'
'Ohh, yowes. Selamat sekali lagi ya, Nang,'

Setelah 30 menit di ruangan Bu Lisa, aku keluar dan beranjak melangkah ke kelasku untuk mengambil jam tanganku yang tertinggal di kolong meja, terlihat di kelas XII IPA A sedang ada rapat Buku Tahunan Sekolah oleh panitia angkatan. Aku menongolkan kepalaku di pintu, dan mereka serempak langsung melihat ke arahku.
'Yang bagus, Rul bukunya. Jelek gua balikin,' ucapku kepada mereka terkhusus untuk Arul teman kelasku,

Aku melanjutkan langkahku ke kelas, anak kelas sebelas dan sepuluh terlihat sedang belajar untuk persiapan Ujian Akhir Semeseter mereka. Setelah menemukan jam tanganku, aku terdiam sejenak, duduk di kursi ku. Aku teringat akan memori kelas ini, dimana kami saling ribut pagi-pagi jika ada pr, bolos bersama di hari kejepit, membungkus cctv dengan kain hitam agar tidak terekam pada saat ujian, memori itu benar-benar berputar di kepalaku. Aku seperti belum siap meninggalkan kisah putih abu-abu ini.

Cleekk

Pintu kelasku berdecit, ada yang membuka, ternyata itu adalah Alvian.

'Rei? Ngapain lu disini?'
'Gak, tadi gua abis nyari jam tangan gua'
Ia ikut duduk disampingku, pandangannya menjelajah seluruh kelas ini.
'Gua belum siap ninggalin semuanya,' ucapnya dengan pandangan lurus. Aku menepuk punggungnya,'ini yang namanya hidup, Min. Selalu terjadi pergiliran, gak ada yang abadi, alurnya selalu maju, dan kisah akan silih berganti,'
'Iya, Rei. Gua bakal kuliah di Bandung,'
'Serius?'
'Iya, gua bakal tinggal dirumah eyang gua. Abis pengumuman gua bakal langsung berangkat. Kalau mau mampir jangan sungkan-sungkan. Pintu terbuka untuk sahabat-sahabat gua,' aku memeluk erat tubuh Alvian dan tak lama melepasnya.

Kisah yang kami lalui begitu berharga, dari sejak kelas sepuluh, bermain bola bersama, mengikuti bermacam-macam pertandingan, dan pulang sebagai juara. Selalu mengisi hari-hari bersama di warkop, canda tawa sampai pertentangan kami lewati. Kini kami akan berpencar, aku di Malang, Alvian di Bandung, Iki di Padang, hanya Didi dan Ipul yang di Jakarta.
Aku dan Alvian keluar kelas, Alvian pamit terlebih dahulu, karena ia akan ada acara keluarga. Aku menyempatkan diri ke kantin, untuk sekedar membeli minum. Ketika baru saja menginjakan kaki dikantin, mataku dan matanya bertemu lagi, untuk kesekian kalinya, aku masuk dan menatapnya dalam. Tak lama kemudian ia langsung membuang pandangannya itu dan duduk bersama Lulu. Aku pergi ke koperasi untuk membeli minum. Ketika beranjak keluar kantin, aku tidak memandangnya sama sekali, aku hanya melihat lurus, tanpa membelokan pandangan ku kepadanya.

Ia benar-benar seperti hujan yang datang saat kemarau, terkadang menyejukan, namun juga sering membawa penyakit. Ia seperti ingin menjauh, padahal tanpa ia sadari aku memang akan jauh, jauh darinya.

****
Ketika aku mengaktifkan ponsel ku, aku melihat ada sebuah pesan masuk, ketika ku buka itu adalah darinya, dari Syirin.
Dia hanya mengucapkan "Sukses kuliahnya." tanpa ada pesan apa-apa lagi. Aku diam, lalu membalas pesannya "Makasih, lo juga ya." Hanya itu percakapan kami, tidak ada lagi jawaban dari Syirin.

Tiga hari kemudian.
Pengumuman kelulusan, aku dinyatakan lulus dengan hasil yang cukup bagus, begitu pula kawan-kawanku. Lapangan sekolah menjadi ramai lagi oleh kelas 12. Dan kami menyempatkan foto angkatan terakhir kami. Setelah itu lapangan sekolah mendadak sepi lagi. Siswa kelas sebelas dan sepuluh yang tadinya ramai di balkon satu persatu bubar masuk ke kelasnya. Tak ada dirinya, benar-benar tidak muncul.

Setelah selesai UAS, kelas sepuluh dan sebelas dinyatakan libur selama tiga minggu, sekolah yang tadinya sepi makin sepi, kelas 12 pun sudah mengambil SKHUN dan tinggal mengambil ijazah sekitar dua bulan lagi.

******
'Rei kamu pilihin barang mana yang akan kamu bawa, dan yang mau di tinggal, jangan sampai yang gak perlu kamu bawa, yang perlu malah ditinggal,' ucap Ibu ku di dalam kamarku yang sedang amburadul karena aku sedang prepare untuk ke Malang.
'Iya, Bu.' Ibu meninggalkan kamarku, dan satu demi satu barang yang ku butuhkan aku masukan ke dalam koper besarku. Setelah baju-baju, sepatu, jam tangan, dan berbagai barang penting masuk ke dalam koper, aku bangkit dari duduk ku, ku lepas lukisan mata Syirin yang terpampang di kamarku, dan ku masukan ke koperku, ku letakan di posisi paling atas agar tidak rusak.
Setelah satu jam prepare, aku bergegas pergi untuk menemui kawan-kawanku di warkop, berhubung aku berangkat tiga hari lagi.

'Kopi, Bang,' ucapku kepada Bang Yono
'Iya. Kuliah udah dapet Rei?' Tanya Bang Yono
'Alhamdulillah, di Malang,'
'Waduh, jauh amat.'

Tak berapa lama semua kawanku datang dan kami berbincang-bincang sebelum semuanya jauh.

'Berangkat jam berapa lu?' Tanya Ipul
'Kereta jam 6 pagi,'
'Kebetulan gua sama Rei sama, kita sama-sama berangkat tiga hari lagi,' ucap Iki
'Serius?' Tanya Didi
'Iya, cuma gue berangkat jam 4 pagi. Pesawat subuh haha. Kemungkinan ini pertemuan terakhir kita, dan sampai jumpa enam bulan lagi,'
Kami semua terdiam, saling tatap. Didi menundukan kepalanya, matanya terlihat memerah.
'S...suksees..kalian, kita tetep sahabat sampai kapanpun,' ucap Didi terbata bata
Suasana sore ini benar-benar tak seperti biasanya, haru menyelimuti hati kami, sampai Bang Yono seperti tak kuat melihat pemandangan ini, dan memilih masuk ke dalam.
'Gimana kalau gua nganter Rei, terus Didi sama Ipul nganter Iki?' Ucap Alvian
'Gak usah bro. Makasih banyak, gua dianter bokap nyokap,' jawab Iki
'Iya. Udah gak usah kalian pada sibuk juga kan,'
'Hmm.... Rei? Gimana sama Syirin? Dia tau kapan lo berangkat?' Tanya Iki dan pertanyaan ini seakan menusukku, aku bahkan menganggap tidak ada lagi pertemuan Rei dan Syirin.
'Gua gak berhubungan lagi sama dia,'
'Sebelum lo nyesel, sebelum lo berdua nyesel, kabarin Syirin kapan lo berangkat, seenggaknya hati lo lega, kalau emang dia gak peduli, yaudah lo jadi tau kebenaran,' ucap Ipul serius
'Iya nanti gua kabarin,'
Langit berubah oranye, senja datang dan kami mengakhiri pertemuan ini, kami saling berpelukan, tanda jika kami tak mau saling kehilangan, namun demi sebuah hidup di masa depan kami harus siap menerima pergantian masa ini.

The Rain in the Summer[editing]Where stories live. Discover now