Sebuah pernyataan

11 0 0
                                    

Ku lajukan motorku dengan kecepatan tinggi menuju rumah Syirin. Aku harus memastikan ia sudah dirumah atau belum, entah harus bagaimana aku menghadapinya, entah apa yang ia rasa, dirinya sulit sekali di tebak.

'Eh, Rei, ayo masuk,'
'Gak usah tan, disini aja. Syirinnya ada?'
'Sebentar ya tante panggilin,'

Tante Nisa melangkah masuk ke dalam rumah, lalu beberapa saat kemudian Syirin keluar masih dengan pakaian yang sama, yaitu putih abu-abu.

'Apa?' Ia bertanya dengan nada yang dingin serta tatapan yang penuh makna, namun tersirat'Gue pulang duluan karena gue masih banyak tugas. Udah ya, gue mau ngerjain,'
'Rin,tunggu,' dengan reflek aku menarik tangannya dan menjelaskan segalanya 'Maafin gua, gua salah. Gak seharusnya tadi lo ikut,'
'Emang. Terus?'
'Please,' aku meraih tangannya, memohon supaya dia memaafkan kejadian tadi
'Iya, udah ya.'

Syirin membalikan badannya dan hendak masuk kerumah, namun ucapanku sontak membuat ia menghentikan langkahnya.
'Lo tau apa yang lebih sakit dari kehilangan?' Syirin membeku di tempat tanpa menoleh ku sedikitpun 'Saat kita di campakin sama orang yang kita sayang.' Aku menarik napas sejenak, lalu melanjutkan ucapanku' Gue sayang sama lo, lo yang udah berhasil mengubah persepsi gue tentang cinta pandangan pertama,'
'Maksud lo apa?' Ucapnya tanpa menoleh sedikitpun
'Gue dari dulu nganggep cinta pandangan pertama itu tabu, ternyata itu nyata, setelah lo muncul di hadapan gua pada hari itu,' Syirin membalikan badannya dan kami berhadapan saat ini, dengan jarak yang cukup jauh.
'Gua suka sama semua yang ada di lo, tatapan, senyum, cara lo berbicara, dan utamanya sifat lo. Gua sayang sama lo, Syirin,' aku mendekatkan sedikit tubuhku kepadanya, aku menatapnya dalam, namun ia membuang pandangannya kebawah 'Gue gak butuh jawaban. Yang penting gua udah nyatain semuanya. Dan sekarang lo tau gimana perasaan gua. Yaudah gua pamit ya, sampein ke Tante Nisa.'

Aku menaiki motorku, dan langsung melajukan nya dengan cepat.

*****
Aku berlari menuju gerbang sekolah, karena 3 menit lagi gerbang akan ditutup, dan benar, nyaris saja Pak Joko satpam sekolahku menutup gerbangnya

'Eh Pak!! Tunggu!'
Aku meloloskan diriku melewati celah gerbang yang belum tertutup 'Makasih Pak Jojo,' ia hanya menggelengkan kepala, aku memanggilnya Jojo karena itu lebih keren untuk disebutkan.

'Heh, telat lagi kamu,' ucap Pak Muzal yang tiba-tiba ada di depanku 'Udah mau out masih aja berani telat-telatan,'
'Maaf Pak, macet banget' jawabku dengan nafas yang terengah-engah. 'Saya sampe keringetan nih Pak lari-larian, saking gak mau telat,'
'Ah, akhir-akhirnya juga telat, yasudah sana masuk kelas,'
Syukurlah, kali ini ia melepaskan cengkramannya, mungkin ia sadar sebentar lagi ia akan kehilangan aku, anak murid yang paling ia sayangi.
-------
'Assalamualaikum,' aku mengetuk dan mencoba membuka pintu kelas
'Walaikumsalam,' jawab penghuni kelas tak terkecuali Bu Lisa, syukurlah saat ini ia yang sedang ada di kelasku, karena Bu Lisa memang dikenal sebagai guru BK yang paling halus dan ramah.
'Telat lagi kamu Nang?' Tanya Bu Lisa dengan nada halus, dan "Nang" yang berarti lanang, yaitu anak laki-laki dalam bahasa Jawa
'Iya,Bu. Maaf soalnya tadi macet banget, banjir di kali bawah,'
'Yasudah, silahkan duduk,'

Aku pun duduk di kursi keramatku dibarisan keempat sebelum paling belakang.
'Anak-anak, nanti jam 9 kalian ada pemberian motivasi, di ruang multimedia, tolong ya Ndo nanti teman-temannya diatur, jangan sampai ada yang tidak ikut,' ucap Bu Lisa terkhusus untuk Diva si ketua kelas
'Siap Bu,' jawab kami sekelas dengan serentak

Bu Lisa meninggalkan kelas, dan kelas 12 memang hari ini freeclass untuk dua jam, aku memilih menggunakan kesempatan ini untuk merebahkan tubuhku dan tidur di belakang dengan menata kursi anak-anak perempuan menjadi seperti sofa panjang, karena mereka sedang sibuk membahas soal di depan kelas.

'Gimana itu keadaan Syasya?' Suara Ipul terdengar samar-samar karena setengah nyawaku sudah ada dibawah alam sadar
'Baik. Kemarin Rei jenguk, bawa Syirin lagi.' Seketika nyawaku terkumpul lagi mendengar ucapan Iki
'Anjrit! Boleh juga lu Rei,' ucap Alvian
'Gimana? Syirin ngambek?' Tanya Iki
'Ngambek? Buat apa coba,' jawabku
'Kan kemarin Syasya mesra banget tuh manggil lo, pake aku kamu, di depan Syirin,'
'Eh demi apa lu ,Ki?' Sambung Alvian
'Udah, jodoh tuh di tangan Allah, gak usah di ribetin sekarang,' Ucap Didi santai sambil membaca buku-buku hadist
'Iya, Pak Ustadz.'

Aku memejamkan mataku kembali, entah berapa lama aku tidur yang jelas aku terbangun karena suara cemprengnya Diva seperti meledak di telingaku.

'Woy! Bangun, ke mulmet sekarang. Woi Rei!' Teriaknya melebihi bunyi toa
'Iya bawel lu, udah sih duluan nanti gua nyusul.'
'Tinggal lu doang di kelas, temen-temen lu udah duluan tuh, tadi lu dibangunin gak bangun-bangun, gua kira lu pingsan.'
'Iye bawel,'

Aku beranjak dari kursi dan melangkah ke toilet

'Rei mau kemana lu? Multimedia ke arah sini bukan lurus'
'Ya ampun nih ibu kos, gua mau cuci muka. Gak percaya? Ayo ikut,'
'Hih, gak. yaudah buruan nanti gua ditanyain Bu Lisa,'

Aku melangkah lambat ke arah toilet karena nyawaku memang belum terkumpul semua.
Ketika keluar toilet, aku berpapasan dengannya, dengan Syirin, ia baru saja keluar dari Ruang Seni yang tepat berada disamping toilet laki-laki.

'Rin, mau kemana?'
'Hmm.. Mau ke kelas lah, abis latihan drama buat pengambilan nilai seni budaya,' suaranya masih terdengar dingin, dan seperti tak ingin melihatku, namun aku akan selalu berusaha memperbaiki dan mencairkan suasana
'Butuh pemeran laki-laki gak? Gua siap nih buat dampingin lo,'
'Ohh... Butuh. Buat jadi pohon.'
'Gak papa, asal pohonnya nanti disenderin sama lo ya. Yaudah gua ke multimedia dulu. Hati-hati jalan ke kelasnya, awas kesandung. Dah,'

Aku melangkah menjauh darinya, aku benar-benar ingin sekali selalu ada didekatnya, namun apa daya, sikapnya begitu dingin kepadaku.

The Rain in the Summer[editing]Where stories live. Discover now