Empat

41.7K 4.4K 215
                                    

Andin menatap kosong Bian—sang bos—yang tengah memberikan instruksi pada para staf-nya di depan ruang rapat. Semua yang dikatakan Bian nyaris dianggap angin lalu oleh Andin. Masuk keluar dengan cepat melalui telinganya. Otak Andin seolah enggan menerima rangsang suara yang ditangkap oleh saraf indra pendengarannya. Karena nyatanya pikirannya sudah penuh sesak dengan apa yang didengarnya semalam.

Tepat tengah malam, ketika akan mengambil minum di dapur, tanpa sengaja Andin melewati kamar adiknya—Aryani. Pintu kamar Aryani sedikit terbuka, sedangkan lampunya masih menyala—terang bernderang. Membuat Andin berdecak karena mengira bahwa Aryani tengah memforsir diri untuk melembur skripsinya. Baru hendak melayangkan teguran, niat Andin terhenti karena mendengar suara ibunya dari kamar Aryani.

"Kamu udah coba bicarain ke Kakak belum, Ani?" Merasa dirinya disebut, Andin mencoba menajamkan pendengaran. Dengan hati-hati Andin memasang telinga. Sedangkan tubuhnya diupayakan untuk tidak terlihat dari balik pintu.

"Belum," suara Aryani terdengar. Begitu lirih dan terdengar putus asa.

"Coba kamu cerita sama Kakak dulu, siapa ta—"

"Kalau Kak Andinnya nggak berkenan gimana, Bu?" Andin menggigit bibir saat mendengar Aryani meninggikan suaranya. Bukan karena emosi, Andin lebih merasa kalau itu adalah ungkapan rasa putus asa yang kelewat parah.

"Kan kamu belum denger dari Kak Andin sendiri," sahut Hani menenangkan. "Coba kamu cerita kalau Dimas udah buru-buru melamar supaya bisa boyong kamu ikut studinya ke luar negeri. Mungkin Kak Andin ngerti."

Ada sesuatu yang mencubit bagian yang berada di tengah dada Andin. Bukan di jantung bukan di paru-paru. Suatu tempat yang disebut orang sebagai hati, meski sebenarnya organ itu berada di rongga perut sebelah kanan. Tanpa sadar Andin menggigit bibir. Tangannya terkepal kuat, hingga kuku yang belum sempat di potong olehnya melukai kulit telapak tangannya.

Semua pertanyaan yang sejak dulu Andin terjawab sudah. Seperti dugaan Andin, ada alasan dibalik gencarnya perjodohan yang dilakukan oleh Dimas—selaku kekasih adiknya. Ternyata semua yang dilakukan Dimas bukanlah suatu bentuk kepedulian pada calon kakak ipar, melainkan satu syarat untuk mencapai tujuannya. Melamar Aryani.

Andin merasa bodoh malam itu. Tanpa mendengar lebih lanjut obrolan dari iu dan adiknya, dia bergegas kembali ke kamar. Andin bahkan melupakan niatannya untuk mengambil minum. Biarlah rasa dahaga dirasakan oleh Andin. Paling tidak, dahaga yang dirasakannya dapat mengaburkan rasa kecewa pada Dimas, Aryani, bahkan kepada ibunya sendiri.

"Jadi, bagaimana Andin?"

Suara Bian menggema dalam ruang rapat memanggil nama Andin. Namun, tidak kunjung direspon karena si empunya nama masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Lelaki berkemeja kelabu yang memiliki nama Abyan Bagaskara itu pun menghela napas panjang. Merasa diabaikan, akhirnya sentakan keras diberikan kepada sang bawahan. "Andina Prameswari!"

"Iya. Saya."

Entah mengapa, secara otomatis Andin mengangkat tangan kanannya seperti seorang siswa yang baru saja ditegur oleh gurunya. Merasa melakukan tindakan spontanitas yang sedikit bodoh, Andin buru-buru menarik tangannya kembali. Mata tajam yang biasanya menatap berani siapa pun lawan bicaranya meredup. Kepala Andin menunduk. Ia tidak punya muka untuk bertatapan dengan si bos yang kini mengalami perubahan rona wajah. Memerah.

"Kamu tahu peraturan selama rapat dengan saya, Andina?"

Andin menelan ludah susah payah. Bian memanggil Andina, bukan Andin seperti biasa. Itu artinya dia benar-benar marah. "Dilarang melamun. Fokus," lanjut Bian tanpa memberi kesempatan pada Andin untuk menjawab atau membela diri.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang