Dua Puluh Satu

34.1K 4.2K 642
                                    

"Hei ...."

Andin tersentak ketika Gilang menyentuh punggung tangannya. Perempuan itu menoleh, membebaskan dagunya dari sanggaan sebelah tangannya yang lain. Tatapan teduh dan lembut Gilang menyambutnya kemudian, ditemani senyum lelaki itu yang begitu menenangkan.

"Masih khawatir sama Aryani?" tanya Gilang lirih. Andin tidak menjawab. Perempuan itu justru kembali melemparkan pandangannya ke luar jendela pesawat. Menatap kosong gumpalan awan putih di luar sana.

Gilang menghela napas panjang. Ia sudah mengenal tabiat Andin. Perempuan itu banyak memilih diam dan memikirkan masalahnya sendiri. Tak mau mengungkapkan karena takut membebani pihak lain. Padahal kalau Andin mau, Gilang bersedia dibebani. Ia tidak merasa keberatan. Gilang justru senang jika diberi kepercayaan untuk mengemban sebagian masalah Andin.

"Jangan terlalu kamu pikirkan Aryani. Nanti kamu pusing," ujar Gilang kemudian.

Andin merespon cukup lama. Ia gunakan untuk berkedip pelan, menoleh ke arah Gilang sebentar, lantas membuang pandangan lagi. "Gimana nggak kepikiran. Aryani itu adikku, Lang. Dan dia sekarang kecewa sama aku."

"Semua pasti ada jalan, Mbak. Bisa dibicarakan," balas Gilang, ditanggapi dengan kekehan datar oleh Andin.

"Dibicarakan?" Andin mencibir. Bukan karena perempuan itu meremehkan saran Gilang, melainkan karena dia pesimis mampu membicarakan semua masalah yang ada secara baik-baik dengan Aryani. "Kamu yakin Aryani mau membicarakan masalah ini?"

Gilang menggedikkan bahu. "Dia ngirim foto surat perjanjian kita, berarti dia minta penjelasan. Berarti bisa kan?"

"Kalau Aryani marah, terus dia—" bibir Andin bungkam begitu telunjuk Gilang menempel di permukaannya.

"Jangan negatif thinking. Optimis aja." Gilang menarik telunjuknya dari bibir Andin. Beralih meraih bahu Andin, menuntun perempuan itu agar bersandar di bahunya. Pelan lelaki itu mengusap lengan atas Andin yang dijangkaunya. "Kita hadapi bersama, ya? Jangan khawatir lagi. Ada aku di pihak kamu," bisik lelaki itu menyangga dagunya di puncak kepala Andin.

Mata Andin terpejam merasakan embusan napas Gilang di atas ubun-ubunnya. Rasanya hangat dan begitu menenangkan. Untuk sementara semua kekhawatiran yang melanda meredup, tak terlihat. Gilang benar. Lelaki itu selalu ada di sisinya, untuk menguatkan. Entah apa jadinya Andin tanpa Gilang. Andin tidak bisa membayangkannya.

O0O

Tiba di depan rumah Andin, Gilang segera membantu mengangkat koper perempuan itu dari bagasi taksi. Berniat masuk, sekadar menyapa—lebih tepatnya memastikan Andin baik-baik saja ketika bertemu dengan Aryani—Gilang ditahan oleh Andin. Perempuan itu menggeleng, mengambil alih kopernya dengan cepat. "Kamu pulang aja. Pasti capek. Biar Aryani aku yang urus dulu."

Kali ini dengusan kasar tidak dapat ditahan lagi oleh Gilang. Entah mengapa dia merasa kesal dengan keputusan sebelah pihak yang diambil Andin."Aku bilang apa tadi? Kita bakal hadapi ini bersama, Mbak."

Andin menggeleng dengan tegas. Ia sudah cukup banyak merepotkan Gilang, melibatkan lelaki itu dengan masalah yang sebenarnya Andin buat sendiri. Andin rasa peran Gilang sudah cukup. "Nggak. Kamu pulang."

"Nggak!"

"Please, Lang. Pulang."

Gilang memejamkan mata sembari menengadahkan kepala. Rasanya ingin terus bersikeras untuk tinggal, tetapi Andin lebih keras lagi memintanya pulang. Ia sudah terlalu lelah untuk berdebat. "Oke, aku pulang setelah pamit sama Bapak dan Ibu."

"Lang ...."

"Paling nggak biarkan aku memberi kesan yang baik ke mereka, Mbak," pinta Gilang meraih pegangan koper Andin dari si empunya. "Nggak sopan kalo cewek pergi sama cowok, tapi pulangnya nggak dianterin dengan bener," lanjutnya kemudian mendekati taksi yang mereka tumpangi. Berpesan pada si sopir untuk menunggunya sebentar.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang