Dua Puluh Delapan

38.8K 4.5K 356
                                    

Hari-hari tanpa Gilang dimulai.

Andin bisa melaluinya. Tentu saja. Sepanjang 28 tahun ini, Andin sudah melalui hidupnya tanpa Gilang. Dan Andin baik-baik saja. Andin masih meyakini itu, setidaknya selama satu minggu berjalan.

Andin baik. Ia melakukan rutinitasnya. Bangun tidur, sarapan, bekerja, makan siang, pulang, makan malam, tidur. Tidak ada yang berubah, selain ketiadaan Gilang.

Setelah menekan perasaan kosong selama seminggu penuh ini, Andin baru menyadari bahwa dia kehilangan Gilang. Ia merindukan lelaki itu. Semua gurauan garingnya, tawanya, cengiran lebarnya, bahkan panggilan lelaki itu padanya. Mbak Pacar, Mbak Mantan, termasuk ketika Gilang menyebut namanya tanpa embel-embel Mbak. Andin merindukan Gilang yang memanggilnya seperti itu sembari tersenyum lebar dan memberinya satu cup kopi.

"Mbak Andin?"

Kepala Andin secara otomatis menyentak. Perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya perlahan, memastikan sosok yang memanggil namanya. Dan lagi-lagi Andin pun dibuat mendesah kecewa.

Itu bukan Gilang, melainkan Galih yang tengah mengernyit bingung nenatap Andin.

"Udah fotokopinya, Mbak?" tanya Galih pada Andin yang masih berupaya meraup seluruh kesadarannya.

Layaknya tubuh tak bernyawa, Andin malah kembali mengerjap. Butuh waktu sekitar setengah menit, hingga Andin melakukan gerakan berbeda. Menoleh sebentar ke arah mesin fotokopi kemudian beralih pada Galih. "Sudah," jawab perempuan itu pada akhirnya.

Kerutan di kening Galih bertambah. Mungkin Andin sudah menjawab pertanyaan Galih, tetapi perempuan itu tak kunjung menyingkir. Membuat Galih akhirnya kembali mengintrupsi, "Boleh saya pakai mesin fotokopinya?"

"Oh!" Bola mata Andin bergerak risau, salah tingkah. Dengan wajah memerah Andin menyingkir segera. Membiarkan Galih mengambil alih mesin fotokopi yang digunakannya, sedang Andin beranjak menuju tempatnya kembali.

"Mbak Mantan Pacarnya Gilang ...."

Langkah Andin terhenti. Sembari mengeram, Andin memberanikan diri untuk berbalik. Seketika itu juga, Andin disuguhi cengiran lebar Galih. "Fotokopiannya ketinggalan," kata lelaki itu mengacungkan sebendel kertas—hasil fotokopi Andin.

"Ma—makasih," balas Andin, segera mengambil alih kertas yang berada di tangan Galih. Selepas mendapatkan kertasnya, Andin buru-buru berbalik. Berjalan meninggalkan Galih yang tersenyum geli.

"Duh, enaknya Gilang ada yang ngangenin," gumam Galih sembari menatap punggung Andin yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.

O0O

"Wah ... wah ...." Suara Agung terdengar heboh dari kubikalnya. Lelaki itu menggeser kursinya, ke arah Laras yang bertempat di sebelah kubikalnya. Ia menyodorkan ponselnya, membuat Laras mendecih kesal karena aktivitasnya terganggu oleh Agung.

"Apaan deh, Mas Agung!" seru Laras, menepis ponsel Agung hingga nyaris terjatuh.

"Lihat, sih Ras!" Agung memaksa. Namun, Laras tidak peduli. Perempuan bersurai ikal itu malah menyumpal kedua telinganya dengan earphone guna mengabaikan Agung.

"Ckckck," Agung berdecak kesal. Pandangannya beralih pada Intan yang tengah sibuk dengan komputernya. Kening perempuan itu mengerut, tampak berpikir keras. "Tan!"

"Saya sibuk!" balas Intan ketus. Namun, bukan Agung namanya jika menyerah pada penolakan pertama. Lelaki itu beranjak dari bangkunya segera. Menghalangi pandangan Intan pada layar komputer dengan ponselnya. "Lihat!"

Intan menyempatkan diri untuk mendengus kesal. Akan tetapi, dia tetap menuruti Agung. Dengan kedua mata menyipit dirinya mencermati apa yang terpampang di layar ponsel Agung. Aplikasi instagram terbuka, ada sebuah foto di sana. Intan tidak mengenal seseorang yang ada di foto tersebut, tetapi nama akun yang mengunggah foto itu, jelas dirinya mengenal dengan baik.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang