Sembilan

36.9K 4.5K 169
                                    

Seperti hari-hari sebelumnya, Aryani akan menemukan mobil Gilang di pelataran rumahnya sekitar pukul 7 malam. Keberadaan mobil Gilang biasanya dibersamai dengan interaksi si pemilik mobil dan kakak Aryani yang tak sengaja Aryani intip dari balik jendela.

Biasanya, Gilang akan turun lebih dulu dari mobil. Berlari memutari mobilnya, membuka pintu mobil, membantu Andin turun sembari menggunakan telapak tangannya untuk melindungi kepala Andin agar tidak terbentur bagian atas pintu mobil. Setelahnya, lelaki itu akan memberi salam, berbincang dengan Hani--sang ibu--sampai akhirnya berpamitan untuk pulang. Tidak jarang Gilang ikut makan malam bersama mereka. Membuat Aryani percaya 100% bahwa lelaki itu memang menjalin kasih dengan Andin--sang kakak.

Berbeda dengan kemarin, malam ini acara berpamitan kepada calon mertua--versi Gilang--tidak dilaksanakan. Pasalnya Ridwan dan Hani selaku orang tua Andin dan Aryani memang tidak ada di kediaman mereka. Menurut informasi yang didapatnya saat menjemput Andin berangkat ke kantor tadi pagi, sepasang suami istri itu sedang mengunjungi nenek Andin di Bogor karena mendapat kabar bahwa beliau sakit malam kemarin.

"Langsung pulang?" tanya Andin ketika mereka sudah berada di teras. Gilang hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Kedua telapak tangannya dijejalkan ke dalam saku celana terangkat naik. Mengusap bahu Andin, tidak lupa memberi tepukan pelan di puncak kepala gadis itu. Satu kebiasaan yang sering dilakukannya setiap berpamitan pulang. Aryani hafal di luar kepala, karena dia memang selalu mengintip dari jendela rumah.

"Oke, hati-hati di jalan," pesan Andin terlampau datar. Tanpa senyum, juga tanpa ciuman selamat tinggal.

"Udah? Gitu doang?" Kening Gilang mengerut. Padahal dia mengharapkan ada sesuatu yang disampaikan oleh Andin kepadanya. Seperti pesan, jangan lupa makan, jangan begadang, salam buat orang tua di rumah. Kalau perlu ada kiss bye sebagai penutup. Gilang tidak berharap banyak. Ia juga tahu batasan mengingat pasal perjanjian mereka bertambah : Dilarang melakukan kontak fisik, kecuali mengusap puncak kepala dan berpegangan tangan. Itu pun dilakukan hanya di depan Aryani dan Dimas. Panjang sekali pasal tambahannya. Konyolnya Gilang hafal di luar kepala karena dia sempat memrotes poin tersebut.

Kan gara-gara poin itu dia tidak bisa bebas mencubit pipi Andin seperti sebelumnya.

"Jangan minta aneh-aneh, Lang," bisik Andin. Ia begitu berhati-hati takut Aryani mendengar pembicaraannya dengan Gilang.

Sebelah sudut bibir Gilang tertarik. Sebuah seringaian menghiasi paras rupawannya. Satu ekspresi yang menyebalkan, tetapi sekaligus mempesona di waktu bersamaan. Ini bukan menurut Andin. Semua itu diungkapkan Intan beberapa hari yang lalu kepada Andin. Perempuan itu menyatakan bahwa ekspresi jahil Gilang adalah yang paling juara. Padahal kalau menurut Andin ekspresi tersebut luar biasa menyebalkan.

"Aryani lagi ngintip itu. Masa nggak nunjukin kemesraan, Mbak?"

Andin mendengus kesal. Jika biasanya dia akan dengan tidak manusiawinya menjewer telinga Gilang, memukul kepalanya, atau menendang tulang kering lelaki itu, kali ini dia ingin balas bermain-main dengan Gilang. Perempuan itu melangkah mendekat, mengikis jarak antara dirinya dan Gilang. Membuat si lelaki mengerjapkan kelopak matanya dengan cepat. Tadi dia hanya menggoda, tidak menyangka saja jika Andin akan menerima tantangannya.

Gilang masih dalam mode syok dan setengah bingung hingga satu kecupan mendarat di pipinya. Bola mata lelaki itu membulat sempurna saat rasa hangat dari pipi menjalar hingga menyentuh sanubarinya. Bahkan ketika bibir Andin sudah menjauhi pipinya, bagian dalam dada Gilang masih tetap hangat. Debaran jantungnya menggila. Ini cewek es sialan banget bikin gue salting, rutuk lelaki itu dalam hati.

"Dah, sana pulang," ujar Andin dengan nada setengah mengusir. Gilang mencoba membaca ekspresi gadis itu. Sialnya, ekspresi Andin biasa saja. Bahkan wajah perempuan itu tidak merona sama sekali.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang