Tujuh

39.5K 4.6K 205
                                    

Sudah setengah jam berlalu, hanya dihabiskan dengan mendiamkan satu sama lain. Baik Dimas maupun Aryani sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa ada yang mau mengesampingkan ego untuk memulai pembicaraan lebih dulu. Pandangan Dimas beralih, mengedar ke setiap sudut kafe tempatnya berada. Jari telunjuknya mengetuk meja seirama lagu Ed Sheeran—Thingking Out Loud yang mengalun lembut. Sedangkan Aryani sebaliknya, memilih menatap lekat ke arah cappucinno frappe-nya tanpa terusik sedikit pun dengan ketukan jari telunjuk Dimas.

Seharusnya tidak begini, batin Aryani yang sudah bosan menunggu. Padahal dia setuju untuk bertemu dengan Dimas karena lelaki itu mengatakan ingin menanyakan sesuatu soal kakak Aryani—Andin. Namun, sejak bertemu tadi lelaki itu sama sekali tidak membicarakan soal kakaknya. Obrolan mereka hanya seputar menanyakan kabar masing-masing. Sudah, itu saja. Absurd sekali.

"Kak Dimas ...." Aryani berinisiatif untuk memanggil Dimas. Berharap acara diam mereka ini segera diakhiri. Karena sungguh, Aryani sama sekali tidak menyukai suasana canggung semacam ini. "Katanya mau nanya sesuatu soal Kak Andin."

"Oh, iya." Dimas menggaruk pelipisnya dengan jari telunjuk. Meringis kecil setelah diingatkan tujuannya untuk bertemu dengan Aryani siang ini. Ia bahkan rela meninggalkan kelas dengan memberikan tugas kepada para mahasiswanya demi pertemuannya ini. Sayangnya, Dimas nyaris melupakan tujuannya bertemu dengan Aryani setelah bertemu dengan gadis ini.

Dimas tidak tahu kenapa, tetapi seketika otaknya blank ketika bersitatap dengan kedua manik kelam Aryani. Ditambah dengan seulas senyum manis yang dilemparkan gadis itu ketika tiba tadi. Dimas mati kutu. Tidak tahu harus berbuat apa. Inginnya Dimas sih memeluk Aryani.

Dimas rindu. Berminggu-minggu tidak bertemu.

Sayang, tidak bisa lagi Dimas sembarangan memeluk Aryani. Mereka kan sudah putus. Mengingat kenyataan itu membuat Dimas rasanya ingin menenggelamkan diri di samudra Hindia.

"Kak Dim?" Aryani melambaikan tangannya ke depan wajah Dimas. Membuat si lelaki salah tingkah karena ketahuan tengah tidak fokus. "Kalau emang nggak ada yang dibicarakan, Ani pergi aja yah. Soalnya nanti mau ketemu dosen pembimbing jam 3-an."

"Eh, jangan pergi dulu, Ar," cegah Dimas saat Aryani hendak beranjak dari kursi yang didudukinya.

"Ya udah, Kak Dimas bilang dong mau tanya apa soal Kak Andin," pinta Aryani dengan tegas.

Dimas menarik napasnya dalam. Ragu-ragu, lelaki itu pun bertanya, "Akhir-akhir ini Andin bersikap aneh nggak, Ar?"

Kening Aryani mengerut. Mengapa pula Dimas menanyakan soal kakaknya? "Biasa aja. Kenapa?" balasnya bertanya.

"Eum ... itu ... malam di mana aku minta ketemuan sama kamu hari ini itu, aku nggak sengaja denger Gilang lagi teleponan sama cewek," kata Dimas sedikit ragu.

"Terus?"

"Gilang manggil cewek yang nelepon dia itu .... Andin."

Dimas tidak lagi melanjutkan penjelasan mengenai apa yang didengarnya tiga malam yang lalu. Dari pada menceritakan apa yang dia dengar, Dimas lebih tertarik dengan ekspresi Aryani yang tampak terkejut. Kerutan di kening gadis manis itu bertambah seiring kebingungan yang melanda. Sedangkan kuku ibu jarinya terus digigiti, tanda bahwa Aryani tengah berpikir keras.

Aryani ingat kejadian tiga malam yang lalu. Sebelum Dimas menelepon untuk mengajak bertemu di hari ini, Aryani sempat memergoki Andin tengah menelepon seseorang di dapur. Tidak seperti Andin yang biasanya, kakaknya itu menyeduh kopi sembari mengapit ponsel di antara bahu dan daun telinganya. Menandakan bahwa telepon itu dari orang penting dan tidak boleh dilewatkan. Dan serupa dengan Dimas yang mendengar Gilang menyebut nama Andin, Aryani pun mendengar samar nama Gilang disebut oleh kakaknya.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang