Delapan

39.2K 4.4K 131
                                    

"Apaan nih, Mbak?" tanya Gilang selepas menerima sebuah kotak bekal dari Andin.

Diliriknya perempuan yang saat ini tengah menghela napas panjang. Di pangkuannya terdapat sebuah kotak bekal serupa dengan miliknya, tetapi berbeda warna. Kotak bekal yang ada di tangan Gilang saat ini berwarna toska, sedang yang ada di pangkuan Andin berwarna merah jambu.

Bukannya kelewat percaya diri atau bagaimana, tetapi Gilang rasa kedua kotak bekal ini berpasangan. Ditujukan untuk couple, seperti dirinya dengan Andin.

Tanpa sadar senyum Gilang mengembang. Setelah pesan manis yang dikirimkan Andin semalam, sekarang dia mendapatkan bekal. Jangan salahkan Gilang kalau berharap hubungan mereka berlanjut tanpa ada lagi surat perjanjian yang mengikat.

"Aww!" Andin meringis ketika sebelah pipinya ditarik oleh Gilang. Gadis itu melotot sebal lantas menepis tangan Gilang untuk menjauhi pipinya. "Apaan sih, Lang?!" geramnya kesal.

"Gemes sama Mbak Andin," aku Gilang sembari menunjukkan cengiran lebarnya. "Makin lama, makin manis aja sih Mbak Pacar," tambahnya, kembali mencubit pipi Andin seraya menggoyangkan kepala gadis itu pelan.

"Manis apaan?!" Lagi-lagi Andin menepis tangan Gilang. Lama-lama Gilang tidak sopan kepadanya. Kemarin tanpa izin main mengusap puncak kepala Andin, dan sekarang mencubit pipinya. Mungkin sebaiknya Andin menambahkan satu peraturan dalam perjanjian mereka.

Dilarang melakukan kontak fisik. Ingatkan Andin untuk menambahkannya.

Senyum Gilang melebar melihat Andin yang sibuk mengusap pipinya yang memerah. "Makasih buat bekalnya, yah," katanya sembari mengusap puncak kepala Andin.

"Makasihnya jangan sama saya," ketus Andin sembari memutar bola matanya malas. "Itu tadi titipan Ibu. Jadi, terima kasihnya sama Ibu," terang Andin tanpa menyadari bahwa tarikan di kedua sudut bibir Gilang mengendur.

"Jadi bukan dari Mbak Andin?"

Andin menggeleng dengan tegas. Ia tidak berbohong, memang sang ibu yang sudah membuatkan bekal untuknya dan Gilang. Padahal seingat Andin, ibunya itu tidak pernah membuatkan bekal untuknya lagi selepas lulus SMA. Bahkan sang ayah pun sempat protes ketika sarapan. Bagaimana tidak protes, Gilang yang baru ditemuinya kemarin langsung saja dibuatkan bekal makan siang sedangkan suami yang hampir 30 tahun hidup bersamanya sama sekali tidak dibuatkan bekal serupa.

"Ini tuh buat calon mantu kesayangan. Biar makin nempel sama Andin," kata-kata Hani--sang ibu--kembali terngiang. Andin dan Ridwan sampai mengerutkan hidung, tidak habis pikir dengan Hani yang begitu santainya menyebut Gilang adalah calon menantu. "Pokoknya nanti kamu bilang sama Gilang kalau ini buatan kamu yah, Din," pesan Hani sembari menyerahkan dua kotak bekal pada Andin.

Namun, Andin tidak melakukan sesuai pesan Hani. Alasannya sederhana, Andin hanya tidak mau mengakui sesuatu yang memang bukan hasil karyanya. Selain itu, Andin ingin menjaga perjanjiannya dengan Gilang. Sudah cukup dia menyesal karena mengirimi pesan yang mengandung konten penuh perhatian kepada Gilang atas perintah Hani juga. Yang kali ini Andin tidak mau terjebak lagi.

"Ya udah," suara lirih Gilang berhasil membuat perhatian Andin teralihkan. "Saya akan berterimakasih sama Ibu saat nganter Mbak Andin pulang nanti," lanjutnya. Entah pendengaran Andin yang bermasalah atau bagaimana. Akan tetapi, suara Gilang terlalu lirih. Tanpa semangat.

Apa karena bekal yang diterimanya bukan pemberian dari Andin? Andin menepis semua pikirannya. Mana mungkin Gilang kecewa karena masalah sepele seperti itu, batinnya.

"Turun gih, Mbak!" perintah Gilang tanpa terkesan mengusir.

"Kamu nggak?" tanya Andin menyadari bahwa Gilang belum melepas sabuk keselamatannya.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang