Tiga Belas

35.2K 4.5K 239
                                    

Seperti yang telah direncanakan, Dimas beserta keluarganya datang ke rumah Aryani di hari Minggu. Pukul 09.00 pagi mereka tiba di sana dengan hantaran berupa makanan dan buah-buahan. Sedangkan hantaran lengkapnya akan diberikan ketika akad nikah nanti, mengingat jarak waktu antara lamaran dan pernikahan yang cukup jauh. Menunggu sampai Aryani benar-benar menyandang gelar sarjananya.

Acara berlangsung cepat dan sangat sederhana. Setelah memperkenalkan anggota keluarga inti dari kedua belah pihak, acara tukar cincin dilaksanakan. Senyum Dimas, juga Aryani tidak pernah lenyap sedetik pun sejak mereka disandingkan sampai cincin melingkar manis di jari keduanya. Bahkan kalau boleh Andin nilai, tarikan di kedua sudut bibir Dimas melebar ketika Aryani telah menyandang status sebagai tunangan lelaki itu.

Tinggal selangkah lagi, maka Aryani akan menyandang status sebagai Nyonya Dimas Adika Abyakta.

Kedua sudut bibir Andin berkedut samar saat menatap adik dan calon adik iparnya itu. Perasaan lega jelas dirasakannya karena keinginannya saat ini telah tercapai, akhirnya keduanya bersatu. Meski begitu, ada perasaan lain yang menyelinap. Perasaan yang paling tidak diinginkan kedatangannya oleh Andin. Ialah setitik rasa iri datang menodai hati Andin. Terlebih batinnya terus berandai-andai.

Andai waktu diputar kembali. Andai Andin bisa memperbaiki semuanya. Mungkinkah dia dan Farel akan berbahagia seperti Aryani dan Dimas?

Andin tersenyum masam. Itu mungkin saja. Namun, dia sadar yang namanya waktu tidak dapat diulang. Ia pun sadar bahwa kenyataannya Farel tidak pernah akan menjadi miliknya, karena jiwa dan raga lelaki itu sepenuhnya dimiliki oleh perempuan lain yang telah menyandang status sebagai istri lelaki itu.

"Hei ...."

Andin terkesiap saat mendengar bisikan tepat di sebelah daun telinganya. Perempuan itu segera menoleh, mendapati sosok Gilang yang tengah memamerkan cengiran lebarnya. Mata Andin mengerjap perlahan. Entah mengapa bola matanya bergerak, menyusuri penampilan Gilang saat ini.

Lelaki itu mengenakan kemeja batik lengan panjang berwarna hitam dan merah yang dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Lengan kemejanya digulung hingga batas siku, memperlihatkan arloji yang melingkari pergelangan tangannya. Pandangan Andin merangkak naik hingga terpaku pada wajah Gilang. Kumis tipis lelaki itu dicukur bersih. Rambutnya disisir rapi ke belakang, menambah kadar ketampanannya yang cukup diakui Andin hari ini.

"Tahu deh kalau aku ganteng. Tapi, ngelihatinnya nggak gitu banget juga kali, Mbak Pacar."

Ucapan Gilang cukup menyadarkan Andin. Perempuan itu segera mengubah ekspresi terpakunya. Berganti memasang wajah datar andalan yang entah mengapa malah selalu Gilang rindukan setiap harinya.

"Sejak kapan kamu di situ?" tanya Andin setengah berbisik. Pandangannya mengedar, mengamati orang-orang di sekitarnya. Syukurlah, tidak ada yang memergoki ketika keduanya berbicara begitu dekat seperti ini. Mereka terlalu sibuk mengobrol sembari menikmati makanan yang telah disediakan.

"Udah dari tadi," jawab Gilang sekenanya. "Mbak sih kebanyakan ngelamun. Ngelamunin apa sih?"

Andin tidak segera menjawab. Perempuan itu justru membuang muka. Berusaha untuk menghindari tatapan Gilang yang berusaha menelanjangi pikirannya. "Kamu ... silakan menikmati hidangan yang tersedia," ujar perempuan itu mengalihkan pembicaraan.

Baru saja hendak meninggalkan Gilang, lelaki itu lebih dulu meraih pergelangan tangan Andin. "Mbak yang ambilin, boleh?"

"Lang ...." Andin baru hendak memrotes, tetapi jari telunjuk Gilang sudah lebih dulu menempel di bibirnya. "Masa nggak mau ngambilin buat pacarnya sih, Mbak?"

Andin tidak menjawab, tetapi juga tidak membantah. Ketika perempuan itu meninggalkan Gilang, dia benar-benar mengambilkan sepiring makanan untuk pacar gadungannya itu. Membuat bukan hanya Gilang, tetapi pemilik beberapa pasang mata yang mengamati ikut tersenyum melihat bagaimana bentuk perhatian Andin kepada Gilang.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang