Dua Puluh Dua

32.1K 4.2K 216
                                    

Dimas meletakkan bendelan jurnal ilamiahnya, beralih pada ponsel yang tergeletak di meja. Sudah lebih dari satu jam lelaki itu mencoba mengalihkan rasa frustasinya dengan menganalisis sebendel jurnal ilmiah yang baru diunduhnya beberapa hari yang lalu, tetapi ternyata tidak banyak membantunya. Setidaknya, setiap 10 menit sekali Dimas akan melirik ke arah ponsel. Berharap dering terdengar, atau sekadar layarnya memunculkan notifikasi pun tidak apa. Namun, semua harapan Dimas tidak terkabul. Layar ponselnya tetap gelap, menunjukkan bahwa tidak ada pesan singkat maupun panggilan diterima oleh ponselnya.

Seraya mengacak surai gelapnya, Dimas tersenyum masam. Sepertinya ucapannya di kafe siang tadi ditanggapi baik oleh Aryani. Bahkan perempuan itu sama sekali tidak berupaya untuk menahannya menyetujui permintaan konyol yang didasari emosi itu. Mungkin memang benar, ini yang diharapkan Aryani. Rencana pernikahan mereka dibatalkan. Mereka selesai.

"Dim!" Ketukan cukup keras pada pintu kamarnya, membuat Dimas tersentak. "Boleh gue masuk?" terdengar suara berat setelahnya. Suara yang sangat dikenali Dimas, milik sang sepupu-Gilang.

"Masuk aja, Lang!"

Hanya selang beberapa detik setelah dipersilakam, Gilang membuka pintu kamar Dimas perlahan. Mula-mula Gilang memunculkan kepalanya dari balik pintu. Menyadari fakta bahwa Dimas sama sekali tidak terusik dengan kehadirannya, Gilang pun memutuskan untuk memasuki kamar Dimas setelah menutup pintu kamar sepupunya itu dengan rapat.

"Tumben mau masuk kamar gue pake ketok pintu segala. Biasanya juga main nyelonong masuk," sindir Dimas yang dibalas dengan cengiran lebar khas Gilang.

"Takut lo sibuk," aku Gilang mengusap tengkuknya salah tingkah. "Kata Reri lo di kamar dari tadi. Bahkan sampai nggak makan malam gara-gara ngurusin kertas-kertas itu," lanjutnya menunjuk sebendel kertas di hadapan Dimas.

"Ini bukan cuma kertas, yah. Ini jurnal ilmiah. Sumber pengetahuan," Dimas merevisi. Gilang hanya membalas dengan dengusan malasnya.

"Ngapain ke sini?" tanya Dimas pada Gilang yang duduk bersila di tepi tempat tidurnya.

"Kangen sama lo," jawab Gilang sembarangan, membuat Dimas memutar bola matanya. Lelaki itu terkekeh pelan baru kemudian menyebutkan tujuannya datang berkunjung, "Gue sengaja ke sini mau nanya kabar lo, sekaligus kabar Aryani."

Dimas tidak langsung menanggapi. Ia justru membuang muka. Menghela napas kasar, hingga Gilang menduga bahwa sepupunya itu masih bermasalah dengan Aryani. "Kenapa nanya gue? Kenapa nggak tanya Andin?"

Giliran Gilang yang menghela napas cukup kasar. Sebentar lelaki itu menggaruk belakang kepalanya lantas membaringkan tubuh ke kasur hingga kedua mata kelamnya menatap langit-langit kamar Dimas.

Gilang memang berniat begitu, menanyakan kepada Andin perihal Aryani karena dirinya merasa bertanggungjawab dengan masalah yang terjadi. Sayangnya, sejak kemarin malam Andin mengabaikan pesan singkat dan panggilan darinya. Bukan itu saja, Andin juga menghindarinya seharian penuh ini. Dari melarang Gilang menjemput ke rumah, menghilang di jam makan siang, dan menolak ajakannya untuk pulang bersama. Oleh karena itu, Gilang memutuskan untuk menggali informasi dari Dimas. Siapa tahu apa yang dilakukan Andin hari ini merupakan dampak dari masalah yang tengah mereka hadapi.

"Lo sama Aryani baik-baik aja, kan?" tanya Gilang melirik Dimas yang entah sedang memikirkan apa. Dari posisi tidurnya saat ini, Gilang dapat menangkap tatapan kosong Dimas.

"Nggak baik," jawab Dimas lirih. Lelaki itu tersenyum masam, menoleh ke arah Gilang yang berbaring di tempat tidurnya dengan pandangan menuntut penjelasan. "Aryani minta rencana pernikahan kami dibatalkan."

Secara otomatis Gilang bangun dari posisi tidurnya. Dimas terkekeh melihat bagaimana Gilang memandangnya saat ini. Penuh rasa simpati, atau mungkin lebih tepat disebut kasihan. "Dan gue bilang ke Aryani, bakal memenuhi permintaan dia."

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang