Dua Belas

38.2K 4.4K 365
                                    

"Pagi, Mbak Pacar!"

Senyum Gilang menyambut Andin yang baru saja bergabung di meja makan. Bukannya membalas sapaan Gilang, Andin memilih membuang muka. Perempuan itu juga mengurungkan niat untuk sarapan bersama anggota keluarganya yang lain. Alasan Andin melakukannya cukup sederhana, karena Gilang berada di sana. Menikmati sarapan bersama keluarganya.

Keberadaan Gilang di meja makannya cukup mengejutkan Andin. Jika pemandangan ini ditemukan olehnya beberapa waktu yang lalu, mungkin Andin bisa memakluminya. Pasalnya dalam dua hari belakangan ini Gilang menghilang, menghindarinya, tidak ada kabar. Dan begitu menampakkan diri lelaki itu tersenyum, seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Benar-benar membuat Andin gondok setengah mati.

"Sarapan, Din," ajak Hani saat sang putri sulung tidak kunjung duduk bersama mereka.

Dengan senyum yang dipaksakan Andin menggeleng, "Nggak, Bu. Mau langsung berangkat aja. Andin sarapan di kantor aja nanti."

"Lho, tapi itu Gilangnya juga masih sarapan," tukas Hani menunjuk Gilang dengan dagunya.

Andin melirik Gilang sekilas. Lelaki itu menunda suapan nasi gorengnya. Menatap Andin penasaran, juga terlihat bersiap beranjak dari bangkunya jika Andin memang hendak berangkat ke kantor tanpa sarapan terlebih dahulu. "Ya udah, biarin aja dia habisin sarapannya. Andin berangkat ke kantor sendiri, kok," ujarnya kembali memalingkan muka ke arah sang ibu.

"Ya udah, Andin berangkat dulu, Ayah, Ibu, Aryani," pamit Andin. Perempuan itu bahkan mengabaikan kebiasaannya ketika berpamitan kepada kedua orang tuanya dengan bersalaman dan mencium pipi keduanya. Andin sengaja melakukannya, agar tidak lagi ditahan oleh ibu, ayah, bahkan Gilang. Ah, menyebut nama Gilang di dalam hati saja sudah membuat Andin uring-uringan sendiri.

Andin melangkah meninggalkan meja makan, mengabaikan seruan sang ibu yang memanggil namanya. Udara bebas baru dapat Andin nikmati ketika dia sudah berada di luar rumah. Dadanya membusung, mengisi paru-parunya dengan pundi-pundi udara yang cukup. Entah mengapa Andin merasa asupan oksigen yang dikumpulkannya tadi sangat kurang ketika berhadapan dengan Gilang. Membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Terutama jika mengingat bagaimana dua hari terakhir ini Gilang menghindarinya. Ia sendiri sampai bingung, memang apa arti Gilang baginya sampai Andin harus merasa seperti ini?

"Mbak!"

Andin merasa pergelangan tangannya ditarik ketika akan membuka pintu mobil. Kedua bola matanya membulat begitu mendapati Gilang sebagai si pelaku utama. "Apa?" suara Andin terdengar dingin menyapa telinga Gilang. Namun, lelaki itu tidak memedulikannya. Justru senyumnya melebar begitu melihat muka masam si pacar gadungan.

"Berangkat sama aku aja," ajak Gilang tanpa menghapus senyum yang justru menyebalkan di mata Andin. Dengan semua yang telah Gilang lakukan, mengapa lelaki itu masih bisa tersenyum?

"Saya bisa berangkat sendiri," tolak Andin. Lagi-lagi Andin membangun dinding formalitas yang menohok Gilang. Andai saja Gilang tidak menjauhi Andin, mungkin saja jarak di antara mereka tidak akan melebar seperti ini.

"Udah, berangkat bareng aja. Nggak kasihan sama aku yang udah jemput kamu pagi-pagi begini?"

"Nggak," Andin menjawab dengan cepat. Membuat Gilang berakhir menggaruk pelipisnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Cara apa lagi yang harus dilakukan olehnya agar Andin mau berangkat ke kantor bersamanya?

"Lang, lepasin! Saya buru-buru mau ke kantor."

Tidak seperti yang Andin duga, Gilang melepaskan pergelangan tangannya begitu saja. Lelaki itu sama sekali tidak berupaya membujuk Andin sekali lagi. Membuat keyakinan Andin semakin kuat bahwa Gilang sama sekali tidak merasa bersalah karena telah menghindarinya dalam dua hari belakangan ini. Karena kalau lelaki itu merasa bersalah, seharusnya dia membujuk Andin lebih keras, menjelaskan semua maksud tindakannya selama ini, serta meminta maaf. Bukannya melepaskan Andin semudah ini.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang