Delapan Belas

32.8K 4.3K 265
                                    

O yo yo .... Aku kembali dengan part terpendek yang pernah ku buat... Jadi, kalau protes partnya kependekan, aku cuman bisa meminta maaf... hehehe... Semoga ini bisa mengobati rasa kangen kalian ^^ karena sebentar lagi mungkin jedanya cukup panjang, mengingat beberapa hal di real life ku harus diperjuangkan... (#eaaaaa)

Semoga kalian menikmatinya....

~Fee~

"Nggak mampir dulu, Gilang?" tanya Hani saat Gilang mengantarkan putrinya pulang. Seperti biasa Gilang melakukan rutinitasnya, mengantarkan Andin sampai ke dalam rumah dan berpamitan kepada siapa pun yang ditemui meski tidak berniat mampir lebih lama. Semua dilakukan Gilang sebagai adat sopan santun.

Gilang hanya menggeleng sebagai jawaban. "Lain kali saja, Bu. Sudah malam," ujar lelaki itu, menegaskan bahwa dirinya menolak tawaran Hani untuk tetap tinggal.

"Ya udah. Tapi, lain kali mampir lebih lama. Kalau bisa sekalian aja makan malam di sini, kayak yang sudah-sudah," kata Hani dibalas anggukan penuh antusias dari Gilang. "Pasti, Bu."

"Bener?" Hani memastikan

Gilang mengangguk, "Mana berani saya nolak undangan calon mertua."

Andin menoleh ke arah Gilang dengan cepat. "Calon mertua?"

"Calon mertuanya Dimas," Gilang melanjutkan. "Bener, kan?" Andin tidak menanggapi dengan kata-kata. Ia hanya mendengus kesal. Entah kesal karena apa.

"Calon mertua kamu juga boleh, lho Lang," ujar Hani menggoda.

Gilang terkekeh ringan. Bola matanya melirik Andin yang sudah membuang muka. Namun, lelaki itu masih dapat melihat rona kemerahan tercetak jelas di kedua pipinya. "Kalau Andinnya mau. Saya sih nggak nolak."

Andin mengerjap cepat, sebelum kembali melemparkan pandangan kepada Gilang kembali. Perempuan itu sudah siap jika mendapatkan cengiran main-main milik Gilang Galia Gamadi. Namun tidak seperti perkiraannya, justru senyuman yang didapat Andin. Senyuman tulus yang membuat dada Andin bergemuruh.

"Tuh, Din," sepersekian detik tatapannya bertemu dengan Gilang, suara sang ibu sudah mengintrupsi kembali. "Kapan Ibu mau dijadiin calon mertuanya Gilang?"

"Nanti," jawab Andin asal. Tidak mau topik soal calon mertua ini terus diangkat, Andin pun berinisiatif mendorong bahu Gilang. "Ayo, aku anter ke depan. Nanti kamu kemaleman sampai rumah lagi."

"Ya udah, Bu. Saya pulang dulu. Salam buat Bapak sama Aryani," pamit Gilang lantas mencium punggung tangan Hani dengan sopan. "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam," balas Hani dengan pandangan yang masih diarahkan pada Gilang yang sedang diantar Andin ke depan rumah.

"Aku pulang, ya?" ujar Gilang setibanya di depan mobil yang terpakir di luar pagar rumah Andin.

"Oke."

Gilang menghela napas panjang. Lelaki itu sudah meraih kenop pintu mobil, tetapi dengan cepat tangannya ditarik kembali. "Aku pulang."

"Iya, hati-hati," balas Andin sembari melambaikan tangan.

Gilang mendesah kecewa. Lagi-lagi lelaki itu meraih pintu mobil, tetapi kepalanya masih saja menoleh ke belakang. "Aku mau pulang, lho."

"He-em."

"Mbak Pacar ...."

"Apaan lagi, Lang? Katanya mau pulang," sahut Andin. Kening perempuan itu mengerut karena Gilang tidak kunjung memasuki mobilnya meski berkali-kali pamit padanya.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang