"Farel?"
Sosok tegap yang berdiri di hadapan Andin memperlebar senyumnya. Tanpa canggung Farel mengulurkan tangan, mengajak Andin berjabat tangan. "Apa kabar?"
Andin menelan ludah susah payah. Menahan desiran lemah di dadanya saat mendengar suara Farel yang cenderung berat dan sedikit serak. Perlahan Andin mengambil napas. Memberanikan diri meraih tangan Farel sembari menarik kedua sudut bibirnya dengan kaku.
"Baik," jawab Andin lirih. "Kamu sendiri?" ia balik bertanya.
"Seperti yang kamu lihat," balas Farel. Andin hanya mengangguk lantas menarik tangannya dari genggaman Farel. "Jadi, di sini untuk ...."
"Urusan pekerjaan," jawab Andin cepat. "Kamu juga?"
Farel mengangguk dengan senyum yang masih terukir lebar. "Baru check in tadi."
"Oh," Andin menggumam lirih. Bola matanya bergerak risau. Memandang ke mana pun asal tidak bersibobrok dengan kedua manik gelap Farel. Namun, Andin cukup beruntung karena getar ponsel mengintrupsinya.
Ada nama Gilang yang tertera di sana, seolah meminta Andin untuk segera menyusul ke mobil dan mengakhiri reuni dadakannya dengan Farel. "Rel, maaf. Aku harus pergi. Ada urusan."
"Oh, iya," Farel mempersilakan Andin untuk pergi. Akan tetapi, baru dua langkah perempuan itu menjauh, Farel kembali memanggil namanya. Memaksa Andin berbalik ke arah lelaki itu. "Lain kali kita ngobrol, ya Din," ujar lelaki itu sebelum menerima panggilan dari ponselnya.
Andin masih terpaku, sedang Farel sudah berbalik terlebih dulu. Lelaki itu menjejalkan sebelah telapak tangannya ke dalam saku celana, sembari berjalan mendekati lift. Sesekali tawa Farel samar terdengar. Membuat rasa hangat sekaligus nyeri menyelinap di relung terdalam Andin.
"Iya, istriku sayang." Ucapan Farel kepada seseorang di seberang teleponnya, menciptakan senyum masam di wajah Andin. Perempuan itu mendesah pelan. Mulai menata hati kembali, sekaligus mengakui kenyataan bahwa lelaki yang pernah dicintainya itu sudah menjadi milik yang lain.
O0O
Gilang menyadari ada yang tidak beres dengan Andin sejak mereka berangkat menuju tempat proyek. Perempuan itu memang lebih banyak diam seperti biasanya, tetapi juga tidak fokus menanggapi obrolan yang sengaja Gilang bangun. Ia akan menoleh dan tersenyum dalam panggilan ketiga, lantas kembali memandangi jalanan melalui kaca jendela dengan tatapan kosong.
Kening Gilang mengerut. Mengingat keseharian mereka, dari meeting yang ditunda Bian, hingga perjalanan makan siang ke Madura. Tidak ada yang salah. Meski Andin sempat protes karena pilihan tempat makan yang terlalu jauh, perempuan itu cukup menikmati waktunya bersama Gilang. Memang Andin tidak secara gamblang mengakuinya, tetapi Gilang cukup tahu lewat binar di kedua mata serta senyum merekah Andin selama perjalanan pulang pergi Surabaya-Madura.
Kembali Gilang memandangi Andin dari jauh. Sosok perempuan itu terlihat dari kaca jendela, sibuk mengerjakan sesuatu dengan kening mengerut, sesekali menggigit bibir ketika bimbang. Sudah tidak ada lagi gurat gelisah maupun gundah. Andin tidak banyak melamun lagi seperti di mobil tadi, membuat setitik lega dirasakan oleh Gilang.
"Dipandangi mulu pacarnya," suara Angga mengintrupsi. Membuat Gilang mengalihkan pandangan sembari mengulum bibir, tersenyum salah tingkah. "Tenang aja, Mas. Pacarnya nggak bakal hilang."
"Ckk, kamu nih." Gilang memukul pelan lengan Angga menggunakan bendelan kertas yang digulungnya. "Ngapain juga masih di sini? Nggak dicari sama Pak Yudha nanti?"
Angga meringis. "Saya disuruh Pak Yudha ngurus sesuatu sama Pak Reno. Sekalian kan tadi habis nganter Intan ke sini," jelasnya sembari mengusap tengkuk, entah karena apa. Saat menyebut nama Intan ada getaran tersendiri di hatinya. Membuat Angga melakukan gerak refleks seperti mengusap tengkuk, atau sekadar mengulas senyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pretend
General FictionAndina Prameswari bersandiwara menjadi kekasih Gilang Galia Gamadi, jodoh yang disiapkan oleh calon adik iparnya. Setidaknya Andin harus berpura-pura menjadi kekasih Gilang sampai pernikahan adiknya terlaksana. Andin dan Gilang berperan sebagai sep...