Tiga Puluh

49.2K 5.3K 593
                                    

Tolong tahan diri buat nggak ngebanting HP atau media lainnya karena kegejean bab ini 😂
.
.
.
.

Andin tampaknya mengerti mengapa Aryani bersikeras untuk tidak melangkahinya menikah lebih dulu. Ia juga mulai mengerti kekhawatiran sang ayah yang terus saja menanyakan: apakah perasaan Andin baik-baik saja, menjelang acara pernikahan Aryani.

Andin mengerti. Sangat mengerti setelah sekelumit iri menghampirinya saat Dimas mengucapkan qobul dengan suara lantang. Dan rasa iri tersebut semakin menjadi kala melihat adik dan adik iparnya bersanding penuh aura kebahagiaan di pelaminan sana.

Senyum Andin terbit beberapa saat kemudian, seolah mengejek dirinya sendiri. Iri? Ia merasa tidak pantas merasakan iri, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah menghargai banyak kesempatan yang lewat. Ajakan Farel menikah dulu, para lelaki yang dikenalkan Dimas, juga perasaan Gilang.

Bibir Andin terkulum secara otomatis saat nama Gilang terucap oleh benaknya. Entah sejak kapan, setiap kali benaknya mengumandangkan nama Gilang ada getaran aneh yang mengikuti. Terasa hangat, tetapi menujam perih kemudian. Terlebih setelah Andin mengingat bagaimana foto Gilang bersama Jelita, bagaimana Jelita mengangkat teleponnya, bagaimana ... Gilang mengabaikan rasa rindunya. Andin memejamkan mata merasakan sakit yang lebih parah tepat di dadanya.

"Udah, Kakak nggak usah inget-inget Kak Gilang lagi. Jangan siksa diri Kakak sama lelaki yang belum tentu mikirin perasaan Kakak sekarang ini," kata-kata Aryani—saat memergokinya menangis karena Gilang mengakhiri panggilan mereka secara sepihak—kembali terngiang.

Aryani mungkin benar, Andin tak selayaknya menangisi Gilang—yang mungkin telah memilih perempuan lain. Akal sehat Andin pun berkata demikian, tetapi tidak dengan hatinya. Perasaan terkadang tidak bisa diubah sesuka sang pemilik. Malah mungkin, perasaan adalah pengkhinat bagi dirinya sendiri. Karena mau sekeras apa Andin mencoba, bayang-bayang Gilang belum mau lepas, berikut rasa sakit yang baru saja ditorehkan lelaki itu.

"Kapan mau nyusul adekmu, Din?" Suara seseorang mengejutkan Andin. Ketika perempuan itu menoleh, sudah ada kakak dari ibunya berdiri di sebelahnya. Pandangannya lurus, terarah pada dua mempelai di pelaminan. Senyumnya merekah menyaksikan kebahagiaan Aryani dan Dimas. Namun, senyum itu lebih terlihat seperti suatu ancaman bagi diri Andin.

"Budhe Hana nggak makan?" tanya Andin mengalihkan topik pembicaraan. "Atau mau Andin ambilkan. Budhe mau apa? Bakso? Soto? So—"

"Jangan coba mengalihkan topik pembicaraan, Andin," sela sang budhe yang tidak mudah dikelabui oleh Andin. "Nggak iri sama Aryani yang lebih dulu nikah?" Hana mengajukan pertanyaan yang berbeda, meski intinya masih sama. Menanyakan kapan Andin menikah.

"Doain aja secepatnya, Budhe," jawab Andin sekenanya, diikuti dengan senyum manis setengah hati.

"Doa sih udah jalan. Tinggal usaha kamu aja gimana, Din," balas Hana, sukses membungkam Andin.

"Mumpung Eyangmu masih ada, Din," kata Hana. Pandangannya beralih pada sosok renta di satu sudut gedung. "Kamu cucu kesayangannya, Din. Cucu perempuan pertamanya, beliau pasti menantikan pernikahan kamu," lanjut Hana membuat Andin semakin merasa tidak enak.

Memang ayah dan ibu Andin tidak pernah memaksa Andin untuk menikah cepat, tetapi tidak dengan keluarga besarnya. Terlebih setelah kesehatan Eyang Putrinya semakin memburuk, mereka semakin menekan Andin untuk buru-buru menikah. Karena itulah impian Eyang Putrinya, melihat Andin menikah.

"Andin permisi dulu, Budhe," pamit Andin berusaha menghindari pembicaraan yang membuatnya sakit kepala itu. "Mau nyapa teman-temannya Aryani yang baru datang dulu," lanjutnya beralasan. Tanpa menunggu Hana menanggapi, Andin bergegas pergi. Menjauh dari sang budhe, menuju ke dekat stan bakso.

PretendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang