Bagian Dua puluh Satu

10K 1.1K 106
                                    

☆Sherry Kim☆
.

Bibir merah muda itu mencebil saat merajuk. Bukan tanpa alasan Jaejoong cemberut sejak pagi sampai mendiamkan Yunho bahkan tanpa menjawab pertanyaan yang pria itu ajukan.

"Kau masih marah padaku?"

Lagi, bibir itu semakin mencebil keluar sampai ingin rasanya Yunho mencium bibir menggoda itu. Namun ia sadar sepenuhnya untuk tidak mengusik kekasihnya jika sedang marah.

Tidak sekarang. Atau wajahnya akan menjadi sasaran bogem mentah kekasihnya.

"Boo, sayang. Lihat aku," Yunho menangkup wajah Jaejoong. Mencoba mendapatkan perhatian pria itu. "Apa komputer lebih menarik dari pada aku?"

Mata bulat itu hanya melirik sekilas dengan tajam. Lalu kembali beralih ke layar komputer di atas meja.

Yunho yak habis pikir. Kesalahan apalagi yang membuat kekasihnya ini mendiamkan dirinya sepanjang hari. Apa karena kejadian tadi pagi? Atau Jaejoong merajuk karena masalah lain.

Yunho menghela napas keras, sengaja. Berusaha menarik perhatian Jaejoong dengan apapun caranya. Kekasihnya itu sudah mendiamkan dirinya sampai tidak membalas pesan yang ia berikan. Membuat Yunho harus meninggalkan kantor dan bertandang ke kantor Moldir hanya untuk mencari tahu penyebab kekasihnya itu merajuk.

"Aku hanya datang untuk memberimu hadiah," ujar Yunho pada akhirnya. "Sebenarnya aku menyiapkan hadiah ini sejak kemarin. Hanya saja aku sibuk dan kau juga sama. Tidak kah kau ingin melihat hadiah itu? Hm..." Jaejoong menggeleng cepat. "Kau yakin? Hadiahmu ada di luar."

Meski enggan, Jaejoong menatap Yunho. Tatapan itu tidak lagi tajam seperti tadi yang membuat senyum samar di bibir Yunho terlihat. "Kenapa kau tidak membawa hadiah itu ke sini?" tuding Jaejoong. "Kau kan punya tangan. Jika kau benar benar ingin memberiku hadiah seharusnya kau bawa masuk."

Bahu bidang berbalut jas rapi itu mergerak saat Yunho menggedik santai. "Tidak akan jadi kejutan jika aku membawanya masuk."

Jaejoong berpaling, memberenggut sebal. "Bawa kembali hadiah itu. Aku tidak mau. Jangan kau pikir aku akan memaafkanmu begitu saja hanya karena kau memberiku hadiah," mata itu menyipit galak. "Kau sudah menjatuhkan harga diriku sebagai laki-laki di hadapan adik dan ibumu. Kau menyeretku seperti sekarung gandung dan melemparku begitu saja ke ranjang hanya karena aku tidak memakai baju. Kau sendiri yang memintaku untuk telanjang ketika kita di rumah, dan kenapa kau marah ketika aku tak memakai baju?"

Bibir Yunho terbuka untuk menjawab. Di hentikan oleh tangan Jaejoong yang tetangkat. "Pergilah. Aku sibuk. Tidak kah kau lihat, aku banyak sekali pekerjaan sampai tidak punya waktu untuk makan siang. Belum lagi mendekati hari pernikahan Papa. Berbaik hatilah Yunho, pulanglah ke kantormu dan jangan ganggu aku."

Mata setajam musang itu bergerak santai mengawasi saat Jaejoong mundur dan menyibukan diri.

Jaejoong memalingkan wajah melihat wajah tanpa ekspresi Yunho. Ia tidak suka wajah menyelidik itu. Sangat tidak suka.

Desahan keluar dari bibir Yunho. Pria itu menjauhi meja kerja Jaejoong untuk mengambil kunci mobil di atas meja. Berniat pergi. "Maaf sudah menganggumu kalau begitu. Hadiah itu ada di luar. Sekertarismu akan menunjukan hadiahmu jika kau ingin melihatnya. Aku pergi."

Pintu tertutup di belakang Yunho. Pria itu benar-benar pergi karena beberapa saat kemudian Jaejoong mendengar suara mobil Yunho.

Jaejoong menatap jendela itu untuk waktu yang lama.
Ia tidak suka pertengkaran ini. Tapi ia lebih tidak suka jika Yunho memperlakukannya seperti wanita terlebih di depan orang lain. Bagaimanapun juga ia kan laki laki. Mau di taruh dimana mukanya jika semua orang menganggapnya seperti wanita.

About That NightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang