Hee-ra menguap beberapa kali, kepalanya agak pusing, kedua pahanya juga terasa pegal. Ia menilik jam weker di atas meja. Sudah jam sembilan malam dan ia belum mandi.
Oke, mari berusaha untuk tidak membicarakan soal kejadian beberapa jam lalu. Maksudku, ya... saat Hee-ra dan Se-hun melakukannya. Bukan karena Hee-ra merasa kotor dan jijik pada diri sendiri, tapi karena membayangkan yang telah terjadi membuat pipinya memerah tak karuan.
Oh ayolah, kalau sudah seperti ini, apa yang bisa ia lakukan? Bahkan nama Jong-in pun tak terlintas di kepalanya.
Hee-ra bangkit dari kasur dan mengenakan jubah tidur milik Se-hun. Perutnya keroncongan, belum sempat makan sejak tadi siang. Ia mengikat rambut ke belakang dan berjalan keluar kamar mencari Se-hun.
Dapur adalah tujuan utamanya. Namun nihil, Hee-ra tak menemukan siapapun di sini. Tidak ada pula makanan yang tersaji di meja makan, yah, mungkin ia harus pergi ke supermarket setelah mandi. Tapi, hei! Di mana Se-hun?
Bukankah mengesalkan jika ditinggal setelah apa yang mereka lakukan?
Hee-ra menggeleng, otaknya selalu dan selalu mengingat kejadian itu. Untuk menghilangkan pikiran negatifnya, Hee-ra berjongkok di depan kulkas, siapa tahu ada yang bisa dimakan.
"Kelaparan, nona?"
Hee-ra tersentak, kepalanya refleks menengok ke belakang dan mendapati Se-hun dengan jubah tidur bewarna navy menenteng dua kantong plastik putih di tangannya.
"Let me..."
Se-hun melenggang ke meja makan dan menaruh kantong plastik tersebut. Di keluarkannya dua box makanan, soda, dan french fries. "Aku membeli makanan tadi." Ia membuka salah satu box makanan dan mendorongnya mendekati Hee-ra. "Makanlah... atau perlu kusuapi?"
Sejenak, Hee-ra sibuk pada pikirannya sendiri sebelum memutuskan duduk di samping Se-hun dan meraih sendok di meja. Ia melirik Se-hun yang tak pernah memalingkan padangan. Well, apakah Se-hun berniat membunuh Hee-ra dengan pandangan seperti itu?
Untuk beberapa alasan yang ada, Hee-ra mencoba mengacuhkan Se-hun dan menyantap makanannya. Jujur saja ia agak risih dipandangi terus-menerus, tapi mau bagaimana lagi? Toh Se-hun tak akan berhenti walau Hee-ra memarahinya.
"Kau tidak makan?" tanya Hee-ra.
Se-hun menaikkan kedua pundak bersamaan. "Makan. Kalau kau mau menyuapi."
Demi apapun! Kenapa Se-hun lagi-lagi menjadi semanis ini? Di mana Se-hun yang dulu? Seorang pria otoriter dan kejam yang selalu berusaha menakutinya. Atau mungkin memang seperti inilah sifat Se-hun sebenarnya? Mungkinkah yang dilihat Hee-ra dulu hanyalah topeng dan pertahanan belaka?
Hee-ra berusaha menyembunyikan pipi merahnya dengan menunduk. Ia mengambil sesuap nasi dan mengarahkannya pada bibir Se-hun. "Buka mulutmu, kau mau kusuapi, kan?"
Buru-buru Se-hun membuka mulut dan memakan nasi dari Hee-ra. Pemandangan yang begitu indah, mereka layaknya pasangan yang dimabuk cinta. Mereka saling berbagi makanan. Sesekali Se-hun tertawa pelan dan mengusap pipi Hee-ra yang tengah menyuapi. Mereka tidak mengobrol, hanya saling berpandangan dan entah kenapa hatinya begitu berbunga.
Sampai Hee-ra menyadari ada yang berbeda. Gadis menyipitkan mata, kenapa ia baru sadar jika sebuah cincin melingkari jari manisnya? Seingatnya, Hee-ra tak pernah memakai asesoris semacam itu.
"Oh, itu dariku," ujar Se-hun cepat, ia langsung peka saat Hee-ra memandang jarinya penuh tanya.
Se-hun memegang kedua lengan Hee-ra dan mendekatkan wajahnya. "Simpanlah, kau tidak harus selalu memakainya, kau hanya harus menyimpannya. Dan aku juga tak akan memaksa atau menyuruhmu memutuskan Jong-in, yang penting jangan pernah lari lagi dariku. Itu sudah cukup."
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Wound [Sehun - OC - Kai]
FanfictionLuka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organisasi. Keputusannya untuk bersandiwara demi menyelakai Hee-ra rupanya berakhir tak sesuai rencana. Entah bagaimana, Se-hun mulai jatuh cinta p...