Keduanya masih terpaku, berbaring santai di Piazza San Marco. Awalnya Hee-ra menolak, tapi Se-hun berhasil membujuknya. Untung saja saat ini sudah menginjak pukul dua belas malam, jadi daerah Piazza San Marco cukup sepi dan mereka bisa berbaring sesuka hati.
Mereka memandang indahnya bintang di langit malam yang tak tertutupi oleh gedung maupun awan. Memberikan ruang santai sejenak untuk keduanya, bahkan Hee-ra tak pernah berpikir kalau hal-hal kecil seperti ini mampu memperbaiki suasana hatinya.
Well, rupanya Se-hun si pembunuh berdarah dingin inilah yang mampu memberikan Hee-ra sensasi berbeda. Tunggu dulu, perasaannya lamanya tidak mungkin kembali, kan?
"Sudah lama aku ingin berbaring di sini," kata Se-hun membuka pembicaraan. "Apa keinginanmu yang belum tercapai?"
Hee-ra berpikir sejenak. "Sejak kejadian beberapa minggu lalu yang membuatku gagal tampil, aku jadi berpikir kalau menginginkan sesuatu hanya akan mengakibatkan sakit hati bila tak tercapai."
Se-hun menggeleng tak setuju. Ia bergerak menyamping, memandang Hee-ra. "Karena keinginan itulah kau bisa terus bertahan hidup. Apa asyiknya hidup tanpa keinginan?"
Rupanya sang kakak telah berubah jadi berkali-kali lebih bijak dan dewasa dari sebelumnya. "Lalu apa keinginanmu yang belum terwujud?" Ia balik membalas tatapan Se-hun dan berusaha mencari kejujuran di sana.
Nyala matanya meredup, Se-hun kembali berbaring di tanah. "Membahagiakanmu."
Apa? Telinganya tidak salah dengar, kan? Se-hun barusan berkata ingin membahagiakan Hee-ra?
"Kau adalah satu-satunya alasan bagiku untuk bertahan, kau adalah tujuanku." Ia menutup kedua mata, paham kalau Hee-ra pasti canggung mendengarnya. "Kau tidak perlu menganggapnya sebagai beban, kau hanya perlu berjalan seperti biasa sampai suatu hari nanti usahaku akan mengetuk pintu hati terdalammu."
Ini salah...
Hee-ra tak boleh membiarkan Se-hun terus berharap. Tapi kenapa mulutnya seolah tak mau bergerak untuk menolak? Kenapa ia tidak bisa bersikap seperti dulu? Apakah hari ini telah berhasil mengubah pendiriannya?
Dengan susah-payah Hee-ra berusaha mengeluarkan suara, begitu pelan hingga terasa seperti angin belaka. "Tapi kita adalah saudara, Oh Se-hun."
Se-hun tertawa hambar. "Saudara macam apa? Kau bahkan tak pernah memanggilku kakak, kau terus-terusan memanggilku Se-hun atau Oh Se-hun. Kurasa kau tidak menganggapku sebagai kakakmu."
"Ti-"
Belum sempat Hee-ra menyelesaikan ucapannya, lelaki itu sudah lebih dulu menutup mulut Hee-ra dengan jari telunjuk. "Ketika waktunya tiba, kau akan tahu segalanya. Semua hal yang mungkin membuatmu salah paham, semua hal yang mungkin pernah menjadi alasanmu untuk menjauhiku. Kau hanya perlu menunggu, Shin Hee-ra."
♠
Lelah.
Satu kata yang berhasil menggambarkan keadaannya saat ini.
Jong-in baru menyelesaikan serentetan tugas juga latihan tarinya, sementara jam telah menunjukan pukul 23:56 malam. Awalnya, Emma berniat menemaninya berlatih di studio, namun Jong-in menolak dan menyuruh gadis itu pulang. Dia hanya tidak ingin dianggap memberi harapan untuk Emma, apalagi Hee-ra masih berada di Venice.
Ia mengendarai mobil dengan agak ngantuk, matanya seolah tak bisa diajak bekerja sama. Berkali-kali Jong-in menguap, rasa lelahnya seolah tak bisa ditahan lagi. Namun, tiba-tiba ponselnya berbunyi, Jong-in mendecak kesal dan berusaha mencari di mana benda kecil tersebut sambil terus berusaha fokus ke jalan. Begitu mendapatkan benda yang dicari, Jong-in mengerutkan kening mendapati sebuah pesan dari nomor yang tak ia kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salted Wound [Sehun - OC - Kai]
Fiksi PenggemarLuka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organisasi. Keputusannya untuk bersandiwara demi menyelakai Hee-ra rupanya berakhir tak sesuai rencana. Entah bagaimana, Se-hun mulai jatuh cinta p...