CHAPTER 38 - [Sounds of War]

4.9K 556 128
                                    

"Aku tidak akan mengganggumu untuk sementara waktu, aku tahu kau butuh ruang untuk menyendiri. Tapi, kuharap sebesar apapun rasa marahmu padaku, kau tidak akan pernah meninggalkanku, Oh Se-hun."

Kalimat barusan sekaligus menjadi penutup pembicaraan mereka. Tangannya menutup pelan daun pintu. Meski dalam hati Hee-ra terus menjerit berharap Se-hun menghalangi dan memeluknya, namun kenyataan pahit berhasil memukul dan menyadarkannya.

Se-hun tidak beranjak dari tempatnya. Sudah cukup jelas untuk memahami bahwa pria itu benar-benar tak ingin melihat Hee-ra saat ini. Se-hun membenci Hee-ra. Se-hun marah pada Hee-ra, lalu apakah ia akan meninggalkan Hee-ra?

Entahlah, Hee-ra sendiri tak sanggup berpikir atau bahkan membayangkannya. Ia tidak sanggup hidup tanpa Se-hun. Seseorang yang tanpa sadar telah menjadi bagian penting dalam dirinya.

Se-hun bergeming, pikirannya melayang. Ia bertanya pada diri sendiri, apakah keputusannya salah? Apakah marah pada Hee-ra hanya akan memperburuk keadaan? Ataukah ia sudah mengambil jalan yang benar?

Tapi, kembali pada kenyataan, ia tak memiliki banyak waktu bersama gadis itu. Beberapa jam ke depan Se-hun harus mempertaruhkan diri di antara hidup dan mati. Kalau dipikir-pikir, sama saja Se-hun membuang kesempatan. Lagipula, ia sudah dewasa. Kemarahan hanya akan membawa malapetaka juga penyesalan. Se-hun pernah menyesal sebelumnya, ia tidak ingin hal itu terulang lagi. Ia memang belum bisa memaafkan Royce, tapi Hee-ra?

Se-hun mulai berpikir menggunakan sudut pandang yang berbeda. Gadis itu pasti ingin menyatukan Se-hun dengan orang tuanya, mengingat Hee-ra selalu bersikukuh bila Royce masih memiliki rasa cinta yang tulus baginya.

Ia melirik ke daun pintu. Kalau bangkit sekarang, Hee-ra pasti belum masuk ke kamarnya—kecuali bila ia berlari. Se-hun menarik napasnya dalam-dalam, meyakinkan diri untuk bangkit dan keluar. Ia tidak ingin membuang kesempatan hanya karena hal bodoh seperti ini.

Se-hun bangkit, kedua kakinya melangkah cepat menapaki lantai. Setelah keluar, terlihat sosok Hee-ra yang masih bersandar tak jauh dari kamarnya. Bahu gadis itu bergetar, seolah sedang menahan tangisan. Refleks, Se-hun menghampirinya. Tanpa ragu, pria itu meraih lengan kanan Hee-ra, membalik posisi sang kekasih dan mendekapnya.

"Dae... Se-hun?"

Hee-ra terlalu terkejut, ia membulatkan mulut seolah tak percaya bahwa Se-hun memeluknya. Kedua mata gadis itu berkaca-kaca, setidaknya, pelukan Se-hun berhasil menahan getaran tubuh rapuh Hee-ra.

"Maafkan aku... maafkan keegoisanku," pinta Se-hun tulus.

Hee-ra tak mampu menahan haru yang menyeruak memenuhi hati. Cinta yang membuat Se-hun berubah, cinta yang melunakkan hati pria itu, dan cinta pula yang berhasil mempersatukan mereka.

Se-hun melonggarkan pelukan dan menangkup kedua pipi Hee-ra, iris matanya menatap dalam-dalam. "Aku menyadari bila amarah hanya akan memperburuk keadaan. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu yang tersisa untuk bersamamu." Ia berhenti sejenak dan mengecup pelan kening Hee-ra. "Aku tidak ingin kehilangan gadis yang telah membuatku berjanji untuk membahagiakannya."

Tatapan itu...

Tatapan yang seolah mampu menggambarkan seberapa besar rasa cinta Se-hun terhadap gadisnya. Tatapan setajam anak panah dan siap menembus jantung siapapun yang berani mengganggu, pun tatapan yang berhasil membuat Hee-ra terlena di dalamnya.

Hee-ra mengangguk, kedua tangannya mengelus lengan Se-hun. "Aku juga tidak mau menyia-nyiakan pria yang telah menyadarkanku artinya pengorbanan. Aku mencintaimu... aku sangat mencintaimu, Oh Se-hun."

Keduanya sama-sama tak ingin berpisah. Mereka berusaha menghibur satu sama lain, berusaha meyakinkan diri bila esok akan baik-baik saja. Melupakan kenyataan yang terus menghantam, juga kemungkinan paling buruk yang bisa menimpa.

Salted Wound [Sehun - OC - Kai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang