Cappucino - 01

5.9K 179 0
                                    

Perempuan itu menatap gerbang hitam yang sudah tertutup rapat. Ia melirik pergelangan tangan kiri—ke arah jam tangan biru kalemnya. Pukul tujuh lewat duapuluh menit. Dengusan kecil keluar dari bibir tipisnya, perempuan itu berbalik badan, kemudian melangkah menuju belakang sekolahnya.

Semoga gak ketahuan, perempuan itu berdoa dalam hati.

Perempuan tersebut—Sadira, memandang gerbang belakang sekolah yang jarang dikunci. Tangan kanan ia ulurkan ke depan untuk membuka gerbang hitam yang sudah berkarat.

Krek ....

Sadira menahan nafas karena bunyi yang ditimbulkan. Kemudian ia melangkah pelan-pelan ke dalam sekolah. Takut, kalau ada guru yang melihatnya tengah menyelusup lewat gerbang belakang. Sadira akan terkena masalah jika hal itu terjadi.

Tiba di koridor sekolah, Sadira menghela nafas lega. Ia berjalan santai menuju kelasnya. Namun, suara bising dari arah lapangan membuat Sadira memutar tubuhnya.

Disana—lapangan utama, beberapa orang berkumpul hingga membuat lingkaran. Dengan penasaran, langkah kaki Sadira membawa cewek itu mendekat ke lingkaran tersebut.

"Lo mau gak jadi pacar gue?"

Mendengar kalimat itu rasa penasaran Sadira semakin bergejolak. Tubuh mungilnya bermanfaat untuk keadaan seperti ini. Dengan mudah, Sadira sudah berdiri di barisan paling depan. Matanya membulat saat melihat Primadona sekolah—Maura, berhadapan dengan cogan urutan pertama. Sadira tidak habis pikir dengan Maura—cewek tinggi berwajah cantik, berani melakukan hal seperti ini. Hal yang seharusnya dilakukan oleh laki-laki.

Keadaan semakin memanas ketika cowok itu malah pergi begitu saja. Tanpa menjawab permintaan Maura. Tentu, mata Sadira semakin membulat.

"Ra ... lo gak pa-pa?"

"Udah 'lah, Ra, mending sama gue aja."

"Aduh, sakit gak ya? Ditolak mentah-mentah begitu?"

Masih banyak komentar yang berseliweran bersamaan dengan bubarnya orang-orang itu. Tapi tidak dengan Sadira. Cewek berambut cokelat tersebut malah diam ditempat. Setelah beberapa sekon, Sadira baru melangkah kembali. Berjalan dengan pikiran kosong menuju kelasnya.

Saat Sadira berpikir ia tengah beruntung karena aksi masuk diam-diamnya tidak ketahuan oleh guru, justru ia salah besar. Tatapan galak Bu Ayu menusuk mata Sadira ketika cewek itu hendak naik ke lantai dua.

"Kamu!" Bu Ayu menuruni anak tangga dengan cepat. "Kenapa masih diluar kelas?"

Sadira memasang wajah polosnya. "A—anu, Bu."

"Anu apa?!"

"Sa—saya abis disuruh sama Bu Carla untuk mengambil kertas photocopy. Di ruang guru." Sadira nyengir tanpa merasa bersalah karena sudah berbohong. "Terus ... saya lupa nyimpan tas di kelas, jadi saya bawa aja deh."

Mata Bu Ayu memincing. "Awas kalau bohong kamu!"

"Eng—nggak bohong, Bu."

"Ya sudah, masuk ke kelas." Bu Ayu kemudian berjalan melewati Sadira.

Sadira menghela nafas lega. Kini, ia beruntung lagi. Tiba di depan kelas, Sadira mengetuk pintu pelan. "Assalamualaikum, Bu. Maaf ... tadi saya abis da—"

"Yah, Dira lupa minum obat."

"Bangun, Ra, udah siang."

"Cantik-cantik doyan ngigo."

"Hahahaha!"

Merasa malu, Sadira nyengir. Kemudian melangkah ke tempat duduknya bersama Lisa—cewek kacamata yang manis. Sadira masih nyengir karena kelakuan konyolnya. Ia pikir, Bu Tia sudah di dalam kelas. Ternyata, guru satu anak itu tidak masuk kelas karena urusan mendadak—Lisa langsung memberitahu.

CappucinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang