Cappucino - 26

1.2K 78 0
                                    

Devo duduk di tepi kasur dengan handuk yang melilit pinggangnya sampai ke bawah. Beberapa tetes air dari rambutnya yang basah mengalir di punggung dan dada. Penampakan Devo sehabis mandi itu tergolong hot.

Perutnya yang serupa dengan roti sobek itu terpampang bebas. Rambut yang biasa berdiri tegak ke atas, membentuk jambul yang badai, kini jatuh menutupi separuh keningnya. Devo semakin ganteng dengan penampilan begini.

Sayangnya, dia tidak lagi available.

Jam menunjukan pukul enam kurang sepuluh menit. Suara azan baru saja berkumandang. Selesai memakai kaos hitam polos serta sarung, dan juga kopiah, Devo keluar dari kamar. Lalu melangkah menuju aula rumah.

Sesaat kemudian, Devo selesai salat magrib. Ia kembali bersemayam di dalam kamarnya. Namun, kali ini, Devo tidak lupa untuk membawa beberapa cemilan serta minuman kemasan. Niatnya, ia ingin saturday night dengan ditemani oleh drama terbaru yang bergenre adventure.

Devo mengambil macbook-nya, menempati diri di atas kasur dengan posisi paling nyaman. Pendingin ruangan pun telah diatur olehnya. Lampu kamar sengaja dimatikan.

Riverdale, judul drama tersebut.

Devo memang tidak menyukai serial drama. Tapi, jika berhubungan dengan pertualangan, Devo mau menonton. Jika dilihat dari sinopsis saja sudah bagus, apalagi keseluruhan episode?

Dari tigabelas episode, Devo baru menonton hingga yang kelima.

Namun, saat macbook-nya baru saja menyala, sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya. Devo menghela napas berat sebelum menggeser ikon hijau, menerima panggilan tersebut.

"Hallo?" sapa Sadira di ujung sana.

Devo membalas, "kenapa?"

"Lagi apa?" tanya Sadira membuat kening Devo mengernyit. Cewek itu tidak mungkin menelpon, menghabiskan pulsa tanpa maksud yang penting. Urusan pulsa, Sadira memang sehemat itu.

"Duduk," sahut Devo singkat. "Kamu kenapa nelpon aku?"

"Mau nelpon aja. Gak boleh?"

"Bukan begitu," kilah Devo, "nggak biasa aja kamu nelpon aku duluan."

"Kan, mau denger suara kamu."

Devo tersenyum tipis. Jujur, ia senang mendengar suara Sadira setelah dua hari tidak bertemu. Karena Sadira yang sibuk latihan untuk kompetisi satu bulan mendatang. Devo tidak ingin mengganggu konsentrasi Sadira. Lagi pula, papanya berpesan kepadanya agar memberi ruang untuk Sadira latihan intens. Namun, selama dua hari bahkan minggu sebelumnya, Sadira tidak pernah menelponnya lebih dulu.

"Tapi aneh, Dir. Biasanya kamu ngekode dulu supaya aku yang nelpon, dan otomatis pulsa kamu tetep utuh." Mendengar Sadira yang terkekeh di sana, Devo kembali berucap, "kamu lebih sayang pulsa daripada aku."

Tawa Sadira menggelegar. "Karena pulsa kamu lebih banyak daripada aku."

"Oke, stop it. Jangan bahas pulsa," decak Devo sambil mematikan macbook-nya. Ia menarik bantal, dan menaruhnya di atas kedua pahanya. "Jadi, kamu mau apa?"

"Aku lagi di Kokas nih."

Alis Devo tertaut. "Terus?"

"Ih, nggak peka!" dengus Sadira kesal.

"Sama siapa?"

Sadira menghela napas. "Jadi, tadi aku berangkat bareng Nata---"

"Cuma berdua?" potong Devo.

CappucinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang