Devo menendang bola berlapis kulit berwarna biru stabilo itu. Peluh keringat telah membasahi sekujur badannya, apalagi wajahnya. Ini sudah ke tiga kalinya Devo berhasil mencetak gol untuk timnya. Nevan bersorak dan berlari mendekati Devo seraya memberikan tepukan di bahu yang artinya memberi selamat.
Permainan terus berlanjut. Devo berhenti untuk beberapa saat. Kemudian ia kembali berlari. Dengan gesit, ia mengincer bola itu dan tak jarang ia memberi taktik pada lawan demi menguasai bola.
Gerakan cepat Devo sontak membuat para penonton berteriak histeris.
Termasuk Sadira.
Cewek itu berkali-kali meneriaki nama Devo bermaksud mengirimkan semangat. Tak mempedulikan tatapan bingung dari orang-orang yang duduk di dekatnya. Sadira senang pada akhirnya bisa melihat Devo dkk bermain futsal.
"Ayo, Devo! Semangat!" seru Sadira.
Devo memang cukup jago dalam permainan futsal. Sejak kecil, Devo sudah terbiasa dengan bola dan futsal. Bahkan futsal itu seperti kehidupan, bagi Devo. Karena kemampuan itu, Devo seringkali dipakai oleh coach untuk pertandingan antar sekolah. Dan selalu, di mana ada Devo, tim itu pasti menang. Sama seperti Devo, ketiga cowok itu sama pentingnya dalam kesuksesan tim futsal sekolah. Mereka berempat sudah menjadi tim inti meski hanya Aldi dan Revon yang mengikuti ekskul futsal.
Suara Sadira mendadak membuat fokus Devo buyar. Ia tak menyadari kehadiran lawan di belakangnya. Dalam hitungan detik, lawan itu bermain curang. Dia sengaja menubruk tubuh Devo hingga cowok itu terjerembab jatuh.
"Devo!" pekik Sadira yang melihat kejadian itu.
Aldi yang berada paling dekat dengan Devo segera membantu temannya itu berdiri. Permainan terhenti untuk beberapa saat. Sadira terburu-buru berlari menghampiri Devo. Dan kecerobohan terjadi, Sadira malah terjatuh dengan posisi telungkup.
Namun Sadira segera bangkit, dan berlari menyusul Devo yang dibawa ke pinggir lapangan. Napasnya tersengal-sengal, Sadira menggigit bibir bawahnya ketika tiba di depan Devo.
Cowok itu memejamkan mata. Sementara itu, Aldi kembali ke lapangan-melanjutkan permainan. Sadira menghela nafas sambil duduk di sebelah Devo.
"Devo, lo nggak pa-pa?" Sadira bertanya pelan dengan raut wajah khawatirnya.
Mata Devo terbuka perlahan. Dia mengangguk dan menatap lurus ke depan. Memperhatikan jalannya permainan tanpa dirinya. Mendadak Devo merasa oksigen seperti sulit diraih. Ia memegangi dada, berharap rasa sesak itu segera hilang.
"Lo kenapa, Vo? Sesak ya?" tanya Sadira yang mulai panik.
Tapi, Devo menggeleng. "Udah malem, lo harus pulang."
Malam semakin larut. Niat awal hanya ingin sekedar bermain futsal tanpa serius itu seketika berubah. Ketika seseorang justru mengajak bertanding. Devo yang tak suka akan kehadiran Satria-orang itu, menerima ajakkan bertanding dengan cepat. Ia tidak mau Satria menganggap dirinya masih sama seperti dulu. Pengecut. Devo mau kalau Satria tidak meremehkannya lagi. Karena Devo yang sekarang bukan Devo yang dulu.
"Gue anter pulang," kata Devo setelah berdiri dari posisinya. Mau tidak mau Sadira ikut berdiri, namun ia merintih merasa perih pada bagian lututnya.
"Aw ...."
Mata Devo bergerak pada bagian lutut Sadira yang mengeluarkan darah. Cukup besar dan pasti terasa perih. Devo menghela nafas, lalu berjongkok menghadap luka Sadira.
"Lo jatoh?" Kepala Devo mendongak, melihat Sadira yang mulai meringis.
"I-iya, gue panik liat lo didorong kayak tadi." Sadira menunduk, mencoba menahan air mata yang hendak keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"