Pulang sekolah, Sadira bergegas keluar dari kelasnya sambil menerobos siapapun manusia yang menghalangi jalannya. Ia melangkah ke arah kanan menuju kelas 11 IPA A-kelasnya Devo. Tiba di tujuan, matanya menatap lurus pintu kelas Devo yang masih tertutup.
"Kok belom keluar?" Sadira bergumam seraya mendekati pintu kelas itu dan berdiri di depannya. Melalui celah pintu, ia mengintip ke dalam kelas tersebut.
Seketika Sadira terbahak sampai-sampai beberapa siswa dan siswi yang lewat melihat ke arahnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Pantesan belom keluar, pelajaran Pak Kiki ..." Sadira menggelengkan kepala.
Guru Biologi-Pak Kiki, memang sering korupsi jam pulang para muridnya. Ciri khas beliau adalah, penyampaian materi yang lama. Serta apabila ia telat masuk ke kelas, otomatis jam istirahat atau jam pulang akan terpotong. Ia lebih sering menjelaskan daripada memberikan latihan atau PR. Apalagi ulangan. Dan, itu kesempatan yang jarang didapatkan dari guru lain bagi setiap murid.
Tak lama setelah itu, Sadira menjauh beberapa langkah dari pintu kelas 11 IPA A. Ia bersandar pada tembok yang berhadapan dengan pintu kelas itu, dan melipat kedua tangan.
Dua menit berlalu. Pintu kelas itu akhirnya terbuka lebar dan keluarlah para penghuni kelas itu dengan wajah lelah bercampur kebahagian akan berakhirnya sekolah hari ini.
"HEY COGAN, SADIRA DI SINI!" Cewek itu melambaikan satu tangannya ke udara sambil berteriak pada Devo dan kawan-kawan yang kebetulan jalan keluar kelas secara beriringan.
"Muka bantal semua, pasti abis tidur pules selama dua jam yaa!" seru Sadira ketika ia sudah berdiri di depan tiga cowok ganteng.
Revon mengangguk dengan wajah setengah sadar. "Ngantuk banget, Ra."
"Itu guru selalu ngejelasin kayak baca cerita dongeng. Jadi bikin ngantuk mulu deh," sahut Aldi lalu menguap besar. "Masih ngantuk."
Nevan menyipitkan mata. "Eh, ada Sadira? Dari kapan?"
"Dari mata lalu turun ke hati," celetuk Aldi seraya terbahak. Cowok itu membenarkan jambulnya yang berantakan. "Eh, futsal ya nanti malam?"
"Yes!" seru Revon.
"Di mana? Lo udah booking belom?"
"Gak tau. Kan yang sering booking itu Devo. Gue mana tau kontak yang punya lapangan." Aldi merangkul Devo yang sedaritadi hanya diam. "Vo, udah booking cewek, eh sorry, maksud gue lapangan. Hehehe ...."
"Garing abis, Di." Revon memutar bola mata dengan malas.
Aldi cemberut, lalu menoyor kepala Revon dengan pelan. Ia menoleh ke arah Devo dan alisnya tertaut saat itu juga. Iya jelas, sekarang, Devo secara terang-terang natap Sadira. Dan, Aldi yakin kalau daritadi Devo gak dengar apa yang dikatakan olehnya.
"Gue bawa pancake durian buatan Nyokap deh," ceplos Nevan membuat wajah Revon langsung berbinar senang.
"Asiiikk ... pancake gratis!" heboh Revon.
Mata Nevan membulat, kemudian ia mencubit lengan Revon. "Apaan, pancake gratis? Gak ada yang gratis, Re!"
"Ya elah, Van," sekarang wajah Revon sudah tertekuk kayak dompet akhir bulan. "Jaman sekarang cewek aja banyak yang gratis, masa pancake gak gratis?"
"Wah, anju." Aldi terbahak mendengarnya.
"Bener 'kan gue?"
Sadira yang mendengar perdebatan itu sontak nyeletuk. "Revon, kalo ngomong suka gak difilter dulu ya?"
Mata Revon membelalak. "Eh, gue lupa, kalo ada Sadira. Sorry, Ra. Gue gak bermaksud buat menghina kaum perempuan nih."
Sadira mengangguk maklum. "Gak salah juga kok, Re. Jaman sekarang itu banyak cewek yang cuma ngurusin body tapi otaknya gak diurus sama sekali. They think the body is everything, but in reality the brain is everything."
"Sadira quotes," ceplos Nevan.
"Anjay ... Sadira Teguh," sahut Aldi sambil bertepuk tangan heboh.
Cewek berambut cokelat itu tertawa karena tingkah ketiga teman Devo yang benar-benar random abis. Setelah itu, Sadira pura-pura memasang wajah angkuh bin nyebelin. Ia mengibaskan rambut cokelatnya berulang kali.
Tapi, cogan urutan pertama itu mengacaukan sesi ngakak receh mereka.
"Lo gak usah caper." Devo berkata tajam dan datar kemudian cowok jangkung itu melangkah menuju parkiran.
Tanpa dosa meninggalkan keempat orang yang seketika kicep. Karena satu kalimat yang cukup pedas untuk Sadira—cewek bermata hazel tersebut.
🌸
Di parkiran motor, Sadira berpisah dengan tiga cogan. Dari kelas 11 IPA A, mereka memang berjalan bersama menuju parkiran. Tadinya Sadira pikir Devo sudah pergi, entah kemana. Ternyata cowok itu berdiri di samping motor hitamnya dengan wajah datar. Seketika wajah Sadira berbinar senang, termasuk tiga teman Devo. Para cowok itu malah lebih heboh daripada Sadira.
Sadira merasa senang karena akhirnya bisa naik motor bareng cogan urutan pertama—yang terkenal tak pernah mendekati cewek mana pun. Yang artinya, ia adalah siswi Athadia pertama yang dibonceng oleh Devo.
Devo sudah memposisikan dirinya di atas jok motor, kini giliran Sadira yang naik ke atas motor dan duduk di belakang Devo. Wajahnya yang berseri-seri itu membuat kening Devo mengernyit beberapa sekon kala ia lihat wajah Sadira melalui kaca spion.
Tak sampai limabelas menit, motor hitam Devo sudah berhenti di depan kedai kopi Camelo yang telah menjadi langganan kedua remaja itu. Sadira melompat turun, dan menunggu Devo melepas helm.
Ketika Sadira membuka pintu kedai, aroma khas langsung menyeruak diiringi hawa dingin. Perubahan suhu yang cukup drastis karena di luar cuaca begitu panas sedangkan di dalam kedai cukup dingin membuat senyum lebar terukir pada wajah Sadira.
Cewek itu berlari kecil menghampiri kasir yang tak penuh antrean. Dengan senyuman lebarnya Sadira bertanya, "Devo mau apa?"
"Biasa." Devo berkata pada sang kasir.
"Cappucino ya," pinta Sadira bergantian. Ia mengeluarkan dompet bergambar sticth dari dalam tasnya.
Kasir yang bernama Zenda itu mengangguk. Setelah itu, Sadira menyeret Devo menuju spot favoritnya—pojok kiri ruangan. Berbanding terbalik dengan wajah penuh kebahagiaan Sadira, wajah Devo justru terlihat tidak senang. Cowok itu memilih memandang keluar jendela daripada melihat ke arah Sadira.
"Devo," panggil Sadira manja.
Tapi, tak diberikan respon positif oleh cowok itu. Hingga Sadira menggerakkan tangan untuk mencubit pipi Devo yang terlihat menggemaskan kalau dari samping.
Dan, yup! Berhasil.
Devo langsung menoleh, menatap Sadira dengan kedua alis menyatu. Lalu Devo mengeluarkan suara beratnya yang terdengar seksi bagi pendengaran Sadira.
"Apa." Devo bertanya seperti biasa—datar dan tanpa ekpresi apapun.
Sadira semakin melebarkan senyum seraya menompang dagu dengan kedua tangan. "Lo dari samping aja ganteng banget. Apalagi dari depan, kayak gini."
Seketika Devo mendengus kecil membuat Sadira terbahak. Sampai-sampai beberapa pengunjung kedai memperhatikan mereka berdua dengan pandangan; cowoknya ganteng tapi ceweknya kok gitu ya?
a.n
iya iya iya
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"