Cappucino - 10

1.4K 83 2
                                    

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di sebuah meja yang sudah diisi beberapa orang. Ada tiga, mereka semua asik menyantap makanan masing-masing. Menyadari kehadiran orang lain, dua cowok itu serentak mendongak.

"Lisa!" Aldi berseru senang saat matanya menangkap sosok cewek berkacamata nan manis di hadapannya.

Lisa segera mengalihkan pandangan, menyembunyikan rona merah di pipinya. Nevan menyenggol lengan Lisa dengan ringan, dengan maksud menyuruh Lisa untuk duduk. Mata Lisa sempat membulat kala Nevan menunjuk Aldi.

Nevan minta ditabok jungkir balik, pikir Lisa sembari duduk di sebelah Aldi.

Sementara itu, Sadira masih berdiri di tempat. Matanya menatap lurus ke arah Devo yang saat ini masih asik bergulat dengan baksonya. Entah kenapa, Sadira menjadi canggung berada di dekat Devo. Setelah obrolan singkat mereka kemarin malam. Ada banyak pertanyaan yang bercongkol di otaknya saat ini, mengingat Devo yang sedikit berubah lebih hangat. Ini semua karena pujian Devo dan ucapan terimakasih cowok itu.

"Ra, duduk," suruh Revon.

Sadira mengangguk. Tanpa di sengaja ia duduk tepat di hadapan Devo. Jantungnya berdebar lebih cepat, dan dadanya berdesir hangat. Sadira ragu untuk mengatakan bahwa dirinya gugup kala berada di dekat Devo.

Ketika hidung Devo menangkap aroma cologne Sadira, ia pun mendongak dan matanya menatap tepat ke iris mata cokelat itu. Hanya bertahan selama lima detik, Devo tak kuasa menatap mata itu lebih lama. Atau jantungnya akan berdebar lebih cepat dari yang ia rasakan saat ini. Kemudian Devo mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Uhuk! Uhuk! Ada yang salting tuh."

Teman-teman Devo seperti biasa membuat kerusuhan tersendiri. Karena itu, Devo pun mengeluarkan reaksi kekesalannya dengan melempar tatapan maut pada tiga cowok itu.

Sadira hanya diam dan tersenyum kikuk. Ia tidak menyukai suasana canggung antara dirinya dan Devo. Harusnya ia bisa bersikap santai seperti sebelumnya. Sadira ingin mencoba untuk menghilangkan kecanggungan ini, bagaimana pun caranya.

"D-Devo," panggil Sadira, terdengar gugup. Devo menoleh dan hanya memberi tatapan tanya.

Dengan manis, Sadira menunjuk mangkuk berisi bakso yang di hadapan Devo dengan lirikkan matanya sambil berkata, "mau."

Devo menunduk menatap baksonya, lalu kembali menatap Sadira. Kemudian tanpa diduga oleh empat orang lain di sekitar dua remaja itu, Devo dengan gentle menyodorkan sendok berisi bakso ke mulut Sadira.

"Uuuch, cocwit." Revon bersuara.

Disusul oleh Nevan yang sengaja menyenggol Aldi. "Babe, mau kayak gituuu," pintanya sok manja.

"Idih, jibang." balas Lisa menunjukkan ekpresi jijik pada Nevan.

"Cemburu ya?" goda Aldi.

Lisa mendengus, "enggak, sih."

Sadira tertawa saat menyadari wajah memerah Lisa. "Cie, cie, salting."

"Di, gerak cepet gih," cecar Nevan.

"Sabar dulu, Lis. Gue mau nunggu Devo nembak Sadira," sahut Aldi dengan tampang santai.

"Ih, kayak gue mau aja sama lo!"

"Aduh, Lisa jahat banget sama Abang Aldi," ucap Revo dramatis. "Ya udah, Di, lo emang di takdirkan untuk jomblo bersama gue."

"Diem, lo! Gue nambah laper nih." Lisa cemberut karena perutnya sudah berdisko sejak tadi.

"Lisa, beli makan yuk! Gue sampe lupa kalo lo daritadi kelaperan, hehe." Ketika Sadira hendak beranjak dari tempatnya, tiba-tiba Aldi melarangnya.

"Biar gue aja yang nemenin Lisa, Ra." Terselip senyuman penuh makna di wajah Aldi. Sadira yang peka itu langsung mengangguk. Membuat Lisa mendengus dan meliriknya beberapa saat. Tetapi, tak urung, Lisa melangkah bersama Aldi.

Kini, Revon mulai beraksi. "Van, ke kamar mandi yuk! Pengin pipis nih."

"Ih, kayak cewek aja. Ke kamar mandi rombongan. Nggak mau, mager ah," jawab Nevan. Mendadak Revon terdiam dan menatap Nevan. Mereka seperti tengah berinteraksi melalui tatapan dan batin. Kemudian Nevan berucap, "oooh!"

Lalu mereka bangkit dari bangku dan bergegas pergi. "Ra, Vo, ke kamar mandi dulu, ya."

Dan sekarang hanya tersisa Sadira bersama Devo di meja ini. Devo masih sibuk menghabiskan baksonya sementara Sadira tak tau harus melakukan apa. Keadaan meja pun jadi hening. Hanya ada bunyi dentingan sendok yang bersentuhan dengan permukaan mangkuk.

Beberapa saat kemudian, Devo berhasil melenyapkan bakso-bakso dari mangkuk itu. Ia melanjutkan untuk meminum es teh manis miliknya. Sehabis itu, Devo kembali menatap Sadira.

"Nggak makan?" tanya Devo.

Sadira menggeleng. "Belom laper."

Devo diam. Ia diam-diam melirik jaket merah yang dipakai oleh Sadira. Alisnya tertaut untuk beberapa saat. Itu jaket cowok, tapi punya siapa. Pertanyaan itu kini memenuhi pikiran Devo.

"Minggu depan, gue ulangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Minggu depan, gue ulangan." Devo berucap dengan datar.

"Ulangan yang kedua?" tanya Sadira yang dibalas dengan anggukkan. "Oke, nanti belajar aja."

"Lo gak latihan?"

Sadira membulatkan mata. Darimana Devo tau bahwa hari ini adalah jadwalnya latihan menari. Ia diam sejenak. Kemudian selanjutnya Sadira tersenyum manis.

"Gue bisa latihan setelah ngajarin lo," ucap Sadira penuh semangat. "Latihan gue cuma sebentar juga."

"Nggak," tolak Devo. "Lo latihan aja. Nggak perlu mikirin ulangan gue."

Sadira cemberut. "Ih, belajar dari sekarang, Devo. Masih banyak rumus yang belom lo ngertiin."

"Ya udah, selesai lo latihan baru belajar," putus Devo.

Mata Sadira membelalak. Belum sempat ia mengeluarkan protesan, Devo menatapnya tajam. Membuat Sadira seketika kicep dengan wajah cemberutnya. Sedangkan itu, Devo tengah sibuk mengira-ngira jaket siapakah yang dipakai oleh Sadira.

"Jaket lo?" tanya Devo tiba-tiba.

Sadira melongo. "Jaket?"

Devo menunjuk jaket merah yang digunakan Sadira dengan lirikkan matanya. Sadira langsung paham sontak tertawa pelan.

"Bukan," jawab Sadira. "Ini punya Nata."

Entah mengapa, Devo tak suka melihat Sadira menggunakan jaket itu.

CappucinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang