Di luar hujan baru saja turun. Itu artinya, Devo harus menetap lebih lama setidaknya sampai hujan reda. Begitu pula yang Sadira rasakan.
Dua remaja berbeda kelamin itu saling diam, keheningan menyelimuti keduanya sejak tadi. Karena jawaban ketus Devo, Sadira jadi tak berani berbicara untuk beberapa saat. Ditambah tatapan tajam Devo yang selalu membuat Sadira bergidik ngeri. Namun, ia tak tahan diam terlalu lama. Terlebih sejak mengajari Devo selama satu jam, Sadira jadi semakin penasaran dengan cowok dingin di depannya ini.
Tapi, lidah Sadira sudah gatal dan tak tahan untuk berbicara. Jadi, ia memberanikan diri mengeluarkan suara.
"Devo ke sini naik apa?"
"Motor," jawab Devo singkat.
"Oh, rumah lo jauh gak dari sini? Kayaknya hujan begini bakal lama berhentinya deh." Sadira memandang ke arah luar kedai.
"Lumayan."
"Emang sejak kapan lo suka ke sini?"
"Da—" Sadira memotong jawaban Devo hingga cowok itu menghela nafas.
"Sejak negara api menyerang ya?" potong Sadira lalu tertawa akibat humornya yang receh. "Oh iya! Kayaknya jadwal belajarnya tiga kali seminggu aja ya? Soalnya gue harus tetep latihan nari."
"Atau, sesuai waktu yang lo bisa?" lanjutnya kembali bertanya namun Sadira tak memberi kesempatan untuk Devo menjawab. "Tapi, jangan deh. Nanti lo bilang gak ada waktu mulu, terus gue yang kena marah deh. Jadi, gue bakal ngasih tahu lo kalo hari itu belajar."
"Hm."
"Besok belajar ya?" Devo mengangguk, lagi. "Di perpustakaan aja lagi."
"Di sini."
"Ha?" Sadira melongo.
Devo menghela nafas. "Besok, di sini."
Mengerti, Sadira manggut-manggut. Ia merogoh kantong jaketnya. Tapi teringat sesuatu, Sadira menepuk pelan keningnya.
Aduh, lupa bawa duit. Sadira menggerutu dalam hati.
"Devo," panggilnya.
"Hm."
"Pinjem duit, boleh?" Devo mengerutkan keningnya. "Gue bener-bener lupa gak bawa duit. Besok gue ganti, kok."
Apa-apaan nih cewek, Devo membatin.
"Boleh ya, Devo? Plis."
Karena tak tega, Devo memperbolehkan. Daripada Sadira diminta untuk membersihkan kedai sebagai ganti pembayaran. Terus Sadira pulang sampai kedai ini tutup.
Kasian, kan.
Sementara itu, Sadira berjingkrak senang. "Yay! Makasih, Cogan!"
Detik demi detik berlalu, jarum jam yang tadinya berhenti pada angka 5 kini sudah bergerak ke angka 6. Itu mengartikan, sudah satu jam mereka di sini. Terdengar suara azan yang berasal dari TV yang ada di beberapa sudut kedai. Seketika Devo beranjak, memasukan ponselnya ke dalam saku celana.
"Devo, lo mau kemana?" tanya Sadira kala kaki cowok itu bergerak satu langkah.
"Sholat," jawabnya membuat Sadira memandang kagum. Alis Devo tertaut saat Sadira malah menompang dagu bukan ikut beranjak untuk menunaikan ibadah wajib. "Gak sholat?"
Sadira menggeleng. "Lagi enggak."
"Oh." Kemudian Devo melangkah menuju mushola yang berada di luar kedai—tepatnya, satu area dengan kedai kopi Camelo. Ini pula salah satu alasan Devo sering mampir ke sini.
Sadira masih kagum pada Devo. Jaman sekarang, tak banyak cowok ganteng yang seperti Devo. Malah mereka sengaja meninggalkan kewajiban hanya untuk melakukan perbuatan tak bermanfaat, misalnya; main ponsel.
🌸
Setelah Devo kembali dari mushola, cowok itu membayar total makanan serta minuman yang dibeli oleh Sadira dan ia sendiri. Hujan sudah berhenti sejak lima menit lalu. Kini, kedua remaja itu berjalan keluar kedai beriringan.
Sadira mengeratkan jaket denimnya, udara dingin membuat ia bergidik. Ia menoleh ke samping, Devo tengah menatap lurus ke depan.
"Naik apa?" tanya Devo tanpa melihat wajah Sadira.
"Gue?" Sadira bertanya balik. Yang dijawab dengan anggukkan kecil oleh cowok itu. "Naik sepeda, rumah gue 'kan gak jauh jadi gue bawa sepeda."
"Oh."
Mata Sadira membulat mendapatkan respon singkat. Oh—dua kata yang mainstream. Ia menghela nafas dan memberikan kode pada Devo. "Lo gak mau nganter gue pulang, gitu? Biasanya ya, cowok itu gak akan membiarkan ceweknya pulang sendirian malam-malam."
"Lo bukan cewek gue," cetus Devo membuat Sadira mendengus kesal.
"Tauk, ah!" Sadira berjalan ke arah sepeda yang ia parkir. Cewek itu tanpa mengucapkan apapun pada Devo langsung mengayuh pedal sepeda hingga meninggalkan kedai kopi. Serta cowok dingin yang membuatnya kesal.
Tak lama, Devo melesat meninggalkan kedai. Derum motornya terdengar membelah kesunyian jalan raya. Devo mempercepat laju motornya agar cepat sampai ke rumah.
Tiba-tiba hujan kembali turun begitu deras. Padahal Devo belum sampai setengah perjalanan. Devo jadi kesal. Namun, ia tetap menerobos hujan, membiarkan tubuhnya basah kuyup akibat air hujan.
Beberapa menit kemudian, Devo tiba dirumahnya. Ia langsung memarkirkan motor dan berlari memasuki rumah. Tubuhnya sudah sembilanpuluh persen basah. Menyadari kedatangan seseorang, Della segera memberi respon.
"Ya ampun, Devo!" Della terkejut melihat sosok lelaki berdiri di ambang pintu dengan tubuh basah kuyup.
"Sebentar ya, Mama ambil handuk dulu," ucap Dela sebelum bergerak mengambil handuk. Sambil menunggu Mamanya, lelaki itu menunduk dan melihat kakinya. Lalu, ia memeluk tubuhnya sendiri.
"Ini, kamu keringin badan kamu dulu." Della datang tergopoh-gopoh dan memberikan handuk pada Devo. "Kenapa gak neduh dulu?"
"Nanggung," jawab Devo singkat—seperti biasa.
"Habis itu kamu langsung mandi, Mama mau bikin susu hangat." Devo hanya mengangguk seraya berjalan pelan ke dalam rumahnya. Sedangkan Della melangkah menuju dapur, membuatkan susu hangat untuk anak sulungnya.
Di dalam kamarnya, Devo membutuhkan waktu limabelas menit untuk mandi. Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk yang bertengger di pundaknya. Tak lama, Della datang membawa susu hangat. Ia mendekati Devo kemudian mengeringkan rambut hitam Devo menggunakan handuk.
Cowok itu hanya diam mendapatkan perlakuan seperti itu. Pikirannya mendadak dipenuhi oleh kenangan lama. Hingga tanpa Devo sadari, tangan Della ia jauhkan dari rambutnya.
"Gak usah, Ma."
Della menghela nafas. "Kamu habiskan susunya ya? Trus langsung tidur, jangan sampai besok telat masuk."
Devo mengangguk. Senyuman terukir pada wajah Della, sebelum ia melangkah keluar kamar anaknya. Della mengubah suhu dari air conditioner menjadi 24 derajat. Agar Devo tidak kedinginan.
a.n
gue baru sadar kalo judul tiap bab itu cappucino bukan noktah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"