Cappucino - 02

2.5K 117 1
                                    

Sadira merutuki dirinya yang bernasib sial karena kejadian tadi. Cappucino yang harusnya sudah ia nikmati harus tumpah ke seragam Devo—cowok dingin yang terkenal seantero SMA Athadia.

Bener-bener sial, Sadira membatin.

Di sepanjang koridor lantai dua menuju kelasnya, Sadira tidak berhenti mengoceh tentang kejadian di kantin tadi. Lisa yang mendengarnya hanya memutar bola mata dan sesekali meminta Sadira untuk diam. Cewek itu memang bawel, bahkan sangat bawel.

"Gue udah minta maaf dengan cara baik plus nawarin dia buat pakai seragam olahraga gue." Sadira masih saja mencerocos.

"Tapi lo tetap mau minjemin seragam atau enggak nih?" Lisa bertanya.

Sadira mendengus. "Tetep 'lah! Gue gak mau Devo jadi benci karena masalah seragam basah doang. Apalagi fans dia yang membludak, duh ... bisa diserang sampai mampus gue!"

"Alay deh," cibir Lisa, "yang suka sama Devo gak seseram itu kali ...."

"Gue gak mau mati karena depresi dibully, Lis!" seru Sadira yang kemudian menggigit ujung kuku telunjuknya, panik.

"Astagfirullah, Ra." Lisa menggeleng karena tingkah Sadira yang sudah panik banget. "Percaya sama gue?"

Sadira mengangguk. Lisa menghela nafas kemudian melanjutkan. "Cewek yang suka sama Devo gak akan berani ngebully separah yang ada dipikiran lo sekarang. Lagipula, gue yakin—banget malah, Devo gak akan tinggal diam."

"Trus, sekarang gue harus apa?"

Lisa menepuk pundak Sadira pelan. "Ambil seragam olahraga lo, kasih ke Devo, trus udah beres deh semuanya!"

"Kalo Devo nolak?"

"Yang penting lo udah berusaha dan nyoba, Ra. Inget! Kita gak akan tahu apa hasilnya sebelum kita mencoba melakukan."

Sadira tersenyum lebar. Binar matanya kini sudah cerah kembali. "Oke deh! Tapi, lo temenin gue ya?"

Sementara itu, para cowok ganteng tersebut tengah duduk di pinggir lapangan. Satu cowok nampak sibuk menjemur seragam putihnya yang terkena noda minuman. Ketiga sahabatnya hanya memperhatikan dengan ekpresi menahan tawa. Kapan lagi melihat cogan urutan pertama memakai kaos hitam polos gitu—di sekolah? Bahkan bila ada siswi yang melihatnya, ia akan mempotret Devo saat itu juga.

"Lo gak mau buka celana juga, Vo?" ceplos Aldi—cowok paling freak diantara yang lain.

Revon menoyor kepala Aldi. "Gak boleh gitu, woy! Anjir, ngakak gue!"

"Sumpah, Vo! Kayaknya kalo gue foto lo sekarang trus uploud ke IG atau Twitter, pasti gue langsung dapet endorse bejibun!" celetuk Nevan sambil terbahak, memegang perutnya.

Yang dibully hanya mendengus. Ia seakan pasrah ketiga temannya menghina. Kini, yang Devo pikirkan adalah, bagaimana caranya seragam itu kering dalam waktu limabelas menit. Tatapan Devo menyapu sekeliling sekolah—SMA Athadia, kemudian retina yang tak sengaja ditatap selama tiga detik itu sukses membuat getaran aneh dalam jantung pemilik iris mata cokelat itu.

"Eh, Sadira," ceplos Aldi dengan tampang paling imutnya. "Nyari siapa, nih? Gue ya?"

"Lah, pe-de banget!" Revon nyeletuk.

"De—Devo, gue minta maaf soal kejadian tadi," ungkap Sadira gugup. "Ini seragam olahraga yang gue tawarin. Kayaknya gak kecil kalo lo pakai. Ini ukuran L, kok."

Cowok dingin itu hanya melirik seragam olahraga yang Sadira ulurkan. Kemudian ia berucap, "gak usah."

"Please ... daripada badan lo lengket," mohon Sadira dengan tatapan memelas. Ia memajukan tangannya hingga jarak antara tangan Sadira dengan tubuh Devo hanya beberapa senti. "Belom gue pakai, kok. Masih ada wangi parfum, ya, bukan parfum kayak cewek lain, sih."

"Udah terima aja, Vo." celetuk Nevan cengengesan. "Lo udah jomblo berapa lama, kan? Lumayan, tuh."

"Bukan itu, bego!" Kini, Revon menoyor kepala Nevan.

Devo menghela nafas. Mengambil seragam olahraga milik Sadira—yang ia yakin akan sempit saat dipakai olehnya. Setelah itu, Sadira melompat senang. "Lo mau pakai seragam gue?"

"Hm."

"Makasih, Devo!"

Devo mengangguk. "Ya."

Sadira melangkah kembali ke kelasnya bersama Lisa. Perasaan Sadira sekarang sudah tenang. Tapi, tiba di pintu kelas. Sadira teringat sesuatu, yaitu: Devo yang dimaksud Bu Carla sama dengan Devo, Si cowok dingin itu.

🌸

Bu Carla: Kamu, Ibu tunggu di perpustakaan ya.

Devo Athalla: Y.

Setelah pesan itu terkirim, Devo bergerak menuju perpustakaan—spot yang hampir tidak pernah ia datangi. Padahal suasana perpustakaan, cocok untuk pribadi yang sepertinya—pendiam. Tapi, Devo bukan tipikal cowok pendiam yang suka membaca buku beratus-ratus halaman. Kalau mendapat pilihan, membaca buku seratus halaman atau melukis dua potret dalam waktu singkat. Devo memilih opsi kedua.

Tiba di perpustakaan, hawa dingin seketika menyeruak hingga Devo membatin, buset dah ... dingin amat.

Cowok jangkung itu langsung menghampiri Bu Carla yang duduk di tengah ruang perpustakaan. Tanpa disuruh, ia sudah duduk di tempat kosong—sebelah seorang cewek. Alis tebalnya sempat tertaut kemudian wajahnya kembali seperti tembok—datar.

"Oke, karena Devo udah disini. Ibu kembali ke ruang guru ya? Sadira, tolong ajari Devo dengan baik ya."

Ooh, namanya Sadira.

Cewek itu mengangguk. Bertepatan dengan suara pintu perpustakaan yang berdecit, Sadira membuka buku catatan Matematika-nya. Bola mata Devo tertuju pada beberapa rumus yang ditulis oleh Sadira.

Cakep, ucap Devo dalam hati, tulisannya lumayan 'lah.

"Eum—Devo, gue diminta sama Bu Carla buat memperbaiki nilai matematika lo. Jadi, mulai sekarang, gue akan ngajarin lo sampai nilai lo membaik," ucap Sadira melirik seragam biru yang dikenakan oleh Devo—seragamnya. "Setidaknya sampai Pak Thaya mau memberikan surat izin kompetisi tari."

"Oh," kepala Devo manggut-manggut.

"Kelas lo, udah sampai materi apa?" Sadira bertanya seraya membuka binder stitch-nya. "Trigonometri, bukan?"

Devo mengangkat kedua bahu, kemudian ia mengeluarkan sebuah buku. Dengan sampul cokelat yang masih rapi bahkan label nama di depan buku belum ditulis.

"Coba gue liat ya?" izin Sadira, mengambil buku milik cowok itu. Mata Sadira membulat kala tidak menemukan satu catatan di dalam buku tersebut. "Kosong? Lo gak pernah nyatet rumus atau gimana, Vo?"

"Gak."

"Gak pernah nyatet rumus?" Mata Sadira hampir keluar saking terkejutnya. Cowok seganteng Devo ternyata pemalas. "Gimana mau pinter, Ganteng?" tanya Sadira gemas.

"Gak mau."

Sadira mengerjapkan mata beberapa kali. "Gue pikir lo gak akan sedingin ini setelah lo mau pakai seragam gue."

Devo diam. Ia menatap lurus ke depan, pikiran cowok itu sudah melayang jauh—entah kemana.

"Berarti gue mulai dari dasar ya?" Sadira menuliskan beberapa rumus pada lembar pertama buku Devo. "Ini rumus Sin, Cos, Tan dalam matematika. Gak terlalu beda, sih, sama yang ada di Fisika. Sin itu rumusnya a dibagi b atau depan dibagi samping. Modal awal dari materi ini, ada di rumus yang gue tulis. Jadi ...."


A.N
haiii!🙋

CappucinoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang