Sore itu angin berhembus ringan, berusaha membawa ketenangan untuk Devo meskipun hatinya terasa panas, tak sehangat sebelum ia bertemu dengan perempuan di hadapannya ini. Jantungnya berdetak dengan ritme yang cepat. Otaknya masih mencoba mencerna perkataan yang barusan dilontarkan Sadira dengan cara yang santai, seperti tanpa beban.
Devo memandang Sadira dari balik bulu matanya. Terlihat sebesit luka yang tergores di tatapan Sadira. Sorotan mata itu menyatakan bahwa dia benar-benar terluka. Dan sekarang tubuh Devo berubah menjadi kaku.
"Sadira," panggil Devo sambil perlahan menaruh kedua tangan di bahu perempuan mungil itu.
"A-aku mau kita putus."
Devo tersenyum tipis dan masih setia menatap perempuan di hadapannya tersebut. "Apa alasannya?"
Sadira terdiam. Lidahnya kelu dan terlalu berat untuk berucap. Apalagi bila matanya menatap sorot mata tajam milik Devo. Semua itu hanya membuatnya semakin tak bisa berbuat apa-apa. Sadira sungguh-sungguh membenci keadaan seperti ini.
"Kamu sayang aku, kan?"
Sadira mengangguk kecil. Dia menggigit bibir bawahnya agar air mata tidak mengalir begitu saja.
"Terus kenapa kita harus putus? Kita bukan anak SMP yang putus karena alasan sibuk." Devo berucap sambil memandang Sadira.
"Aku sayang kamu, tapi aku gak bisa." Sadira bergumam.
"Gak bisa apa?"
"Gak bisa terus sama kamu."
"Kenapa?"
Sadira lagi-lagi tertunduk. Ia tak kuasa melihat senyum Devo yang terukir tulus. Ia ingin sekali memeluk tubuh Devo dan mengatakan segala hal. Namun, semua itu terasa sulit. Hingga akhirnya yang bisa Sadira lakukan hanyalah diam dalam beribu rasa bersalah yang terpendam.
Dalam beberapa detik Sadira tak bergerak dan tak memberi reaksi. Ia diam, membuat Devo ikut terdiam. Kini keheningan kembali menyelimuti. Keheningan yang sama sekali tak mengundang kehangatan, justru sebaliknya. Andai ada pilihan lain, moment ini pasti tidak akan terjadi.
Devo menarik napas dalam, lalu menghelanya bersamaan dengan darahnya yang berdesir kala mata Sadira berkedip ke arahnya.
"Sadira," panggil Devo.
"Ya?" sahut Sadira.
Dengan lembut, Devo bertanya.
"Apa yang kamu mau?""A-aku mau kita putus," jawab Sadira.
"Kalo aku gak mau?"
"Kalo diputusin itu, ya, terima ajalah."
Seorang lelaki jangkung dengan bomber jaket dongker, topi hitam yang menutupi rambutnya, dan berwajah Arab. Lelaki itu menarik Sadira menjauh dari Devo. Tak ada aura damai yang terpancar dari wajahnya.
Mata Devo membelalak. "Lo siapa?"
"Alatas," ucap lelaki itu sambil menyodorkan tangannya mengajak berkenalan. "Pacar barunya Sadira."
"Gila nih orang," Devo tersenyum sinis. "Mana mau Sadira sama cowok tampang preman kayak lo."
"Hahahaha!" Alatas tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"