"Kecewanya orang pendiam itu,
menyeramkan."Cappucino🌷
Devo berjalan cuek di pinggir lapangan yang masih tersisa air hujan. Rambutnya tertiup oleh angin, sehingga rambut hitam legamnya itu kini berantakan. Bel pulang telah berbunyi sejak sepuluh menit lalu. Namun, kondisi lapangan SMA Athadia masih ramai oleh murid-murid. Dan seperti biasa, Devo menjadi tontonan bagi murid yang ia lewati. Seperti biasa juga, Devo bersikap cuek seolah tidak ada orang di sekitarnya.
Pada jarak cukup jauh di tempat yang berlawanan dengan Devo, ada cowok yang tengah menunggunya. Senyuman miring itu terukir di wajahnya, lalu ia mendekati Devo.
"Bro," Satria menyapa Devo dengan hangat, membuat langkah Devo otomatis terhenti. "Kenapa Sadira gak masuk?"
Yang ditanya hanya diam, bahkan ia muak untuk menjawab bila yang bertanya adalah cowok sejenis Satria. Wajah Devo tak menunjukan ekpresi apapun, alias datar. Matanya melihat lurus ke depan—tepatnya, ke Satria.
"Lo gak mau jawab, atau mendadak bisu?" ceplos Satria. Sedetik berikutnya, satu tinjuan Devo meluncur dengan mulus di tulang pipi Satria.
Cowok itu lantas mundur satu langkah sambil memegang pipinya yang terasa berdenyut hebat. Devo memincingkan matanya, wajahnya memerah serta urat-urat di lehernya yang menimbul. Ia maju kemudian menonjok wajah Satria lagi. Kini, sudut bibir Satria robek dan cukup mengeluarkan banyak darah.
Satria menatap tajam Devo. "Lo kenapa nonjok gue?"
"Itu pantes buat lo," sahut Devo. "Setelah bawa Sadira pergi. Terus ninggalin dia gitu aja. Ayam banget lo!"
Satria tercenung sesaat, memikirkan ucapan Devo. Lalu, ingatannya kembali pada kejadian kemarin. Seolah itu bukan kesalahan, Satria tertawa sumbang. Membuat wajah Devo semakin memanas karena amarah yang menggebu-gebu.
"Gue gak tau kalo dia milih pergi dari kafe," aku Satria jujur. "Dan menurut gue, Sadira itu cewek murah."
Bugh.
Devo kembali menonjok wajah Satria. Perkelahian tak dapat dihindari lagi. Satria membalas menonjok wajah Devo menyebabkan cowok itu terhuyung ke belakang karena tak siap menerima serangan. Pelipis kanan Devo kini berdarah. Cowok itu menatap penuh amarah ke lawan di hadapannya.
"Harusnya Sadira gak nerima tawaran gue begitu aja," ucap Satria sebelum mendapatkan satu bogeman.
"Brengek!" maki Devo.
Satria tertawa tanpa kehilangan fokus untuk menghajar teman lama. "Lo harus tau, Sadevo. Pacar lo itu udah tau semua tentang masa lalu lo!" Dan, Satria berhasil membuat Devo benar-benar tersungkur ke belakang. Setelah ia melayangkan satu tinju ke perut Devo.
"Lo itu gak pernah bisa menang dari gue," ucap Satria kemudian melenggang pergi menuju motornya yang terparkir.
Devo memegang perutnya yang berdenyut nyeri. Ia bangkit bersamaan dengan ringisan yang keluar dari bibirnya. Lalu, cowok tinggi itu melajukan motor hitamnya.
Sadira sudah tau masa lalu-nya.
Kalimat itu berhasil memenuhi otak Devo. Cowok itu membawa motornya tanpa tujuan. Ia tidak mungkin pulang ke rumah di saat Papanya masih ada. Apalagi dengan kondisi babak belur seperti ini. Selanjutnya, Devo menambah kecepatan motornya, membelah jalanan ibukota yang dipenuhi kendaraan lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"