Sepuluh menit kemudian, Devo tiba di kafe Amora. Ia menatap sekeliling kafe yang nampak sepi dan hujan semakin turun dengan derasnya. Devo kembali melajukan motornya dengan kecepatan rendah menuju kawasan hutan. Untung aja, Devo sudah mengetahui daerah ini.
Kendaraan yang lewat hanya satu-dua, tidak lebih dari tiga. Keadaan benar-benar sepi dan begitu dingin. Mata Devo melirik ke kanan dan ke kiri, siapa tau ia menemukan sosok cewek yang ketakutan di pinggir jalan.
Ketika ia menemukan seseorang yang duduk di pinggir jalan sambil memeluk lututnya serta menunduk, Devo menyipitkan matanya. Memastikan apakah itu Sadira atau bukan. Dilihat dari ukuran tubuhnya dan model rambut, Devo merasa itu adalah Sadira. Cowok itu langsung menghentikan motornya di pinggir jalan, lalu turun dari motornya dan mendekati cewek tadi.
Tangannya terjulur untuk menepuk bahu cewek itu, dan dia langsung mendongakkan kepalanya. Matanya lantas membulat kemudian ia bangkit dari posisi duduknya. Mata Devo menatap lurus ke mata cewek itu.
Jaket abu-abu yang dikenakan olehnya langsung dilepas dan disampirkan ke pundak Sadira. Cewek itu mengeratkan jaket abu-abu milik Devo.
Devo menyadari badan Sadira yang mulai gemetar karena kedinginan. Wajah cewek itu terlihat pucat, hingga akhirnya Devo menarik Sadira ke dalam pelukannya. Sadira menenggelamkan wajahnya di dada bidang Devo dan meremas kaos hitam Devo yang sudah basah kuyup. Cowok itu memejamkan mata, mencoba untuk menormalkan detak jantungnya yang berpacu cepat.
"Gue ...," Sadira terisak. "Gue takut."
Devo yang kebingungan hanya bisa mengernyitkan dahi. Ia tidak akan mengerti bila Sadira tidak menjelaskan.
Namun cewek itu justru semakin terisak keras. Entah dorongan darimana, tangan Devo terulur untuk mengelus rambut cokelat Sadira. Memberikan rasa aman dan tenang di sana. Hingga Sadira berhenti menangis.
Dua menit berlalu, Devo melepaskan pelukan itu. Menatap wajah pucat Sadira. Ia menarik lembut tangan Sadira menuju motornya. Devo menyuruh Sadira untuk memakai jaketnya dengan benar.
"Pegangan," kata Devo kala mesin motor telah hidup.
Sadira memegang erat ujung kaos Devo kemudian berkata, "udah."
Cowok itu mendengus sebelum kedua tangannya meraih tangan Sadira, lalu melingkarkan tangan cewek itu di pinggangnya. Otomatis, Sadira kini memeluk Devo. Setelah itu, mereka pergi dengan terpaan hujan yang masih saja turun begitu derasnya.
Di sepanjang perjalanan hanya suara rintik hujan yang semakin kecil. Serta beberapa kendaraan yang melintas. Kondisi jalanan yang licin akibat hujan yang masih mengguyur, orang-orang jadi malas beraktifitas. Apalagi ini hari Minggu, waktu yang tepat untuk bermalas-malasan di rumah. Terpaan angin yang menyentuh kulitnya membuat Sadira semakin erat memeluk Devo. Cewek itu memejamkan mata karena pusing yang tiba-tiba menyerang.
Sedangkan itu, fokus Devo terbagi. Ia tidak hanya fokus pada jalanan, namun pikirannya dipenuhi oleh pertanyaan yang berhubungan dengan Sadira. Devo melajukan motor lebih kencang agar tiba di rumah cewek itu lebih cepat.
Beberapa saat kemudian motor yang dikendarai Devo berhenti di depan rumah bernuansa putih. Satpam yang berada di dalam pos segera membuka pagar rumah. Kemudian motor Devo memasuki area garasi rumah Sadira.
"Ra," panggil Devo.
Sadira membuka mata, lalu turun dari motor dengan perlahan. Kini wajahnya semakin pucat serta hidungnya mulai memerah. Sadira membenarkan rambutnya yang menutupi sebagian wajahnya. Ia tersenyum manis pada Devo yang telah turun dari motor.
"Thanks ya," kata Sadira serak.
Devo bergumam. Ia menaikkan kedua alisnya sebagai isyarat supaya Sadira segera masuk ke dalam rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"