Ketukan pintu dan kenop yang berputar sukses menarik perhatian Sadira kurang dari dua detik. Jantungnya berdegup lebih cepat beberapa saat sebelum Sadira merasa jantungnya mencelos ke bawah ketika melihat sosok laki-laki yang sangat Sadira kenali melangkah masuk dan kembali menutup pintu.
"Hai," sapa Nata dengan senyum manisnya.
"Ih, ngapain lo di sini?"
Usaha Sadira untuk menutupi rasa kecewa karena bukan Devo yang datang nampaknya tidak begitu berhasil. Sadira masih belum bisa mengatur intonasi suaranya yang terdengar serak.
Sambil duduk di kursi yang tadi dipakai Devo, Nata menatap Sadira dengan mantap. "Kenapa emang? Nggak boleh?"
"Enggak."
"Terserah gue dong, gue sekolah bayar jadi gue punya hak buat ke sini juga."
Jawaban tak terduga yang keluar dari bibir Nata itu membuat Sadira refleks tertawa kecil, seraya menahan rasa nyeri di perutnya yang datang kembali.
"Nggak bosen, Ra, sendirian?"
Sadira menggeleng. "Tadi ada Devo."
"Oh ya? Kapan?"
"Sebelom lo ke sini."
"Itu juga gue tau, kali." Nata mendengus sebal. "Magh lo kambuh ya?"
"Kayaknya sih, iya."
Nata melirik kotak nasi yang baru tersentuh sedikit oleh Sadira. "Makan, Ra. Kok didiemin gitu nasinya?"
"Nggak napsu," jawab Sadira.
"Lah, ntar perut lo sakit lagi." Nata mencebik sekali kala melihat Sadira menggelengkan kepala. Huh, kenapa perempuan itu keras kepala sekali sih?
"Gue boleh curhat nggak?" Sadira mengalihkan pandangan.
"Biasanya juga lo curhat nggak pake nanya dulu," ejek Nata membuat Sadira menabok lengan cowok itu.
"Tadi ...," mulai Sadira. "Devo aneh banget. Gue, kan, sengaja manja-manja begitu biar dia lebih perhatian. Terus pas Devo mau keluar, gue nahan dia abis itu gue nanya 'mau ke mana? Di sini aja temenin aku.' Tapi Devo jawabnya dingin kayak semula, sebelum gue dan dia pacaran. Dan yang bikin kaget, Devo pake gue-lo bukan aku-kamu."
Nata termenung, mencerna sesi curhat mendadak Sadira. Ia memang baru merasakan pacaran, namun Nata cukup mengerti isi hati Sadira saat ini. Sadira bukan tipikal pacar yang selalu mengatur ini-itu. Dia lebih manja, memang. Tapi, manja yang tidak menggelikan.
Dan, Devo pun nampaknya suka dengan sifat manja Sadira. Makanya agak aneh untuk Sadira mendapat respon dingin begitu, saat ini.
"Kalian lagi berantem?"
"Enggak. Kita oke-oke aja, tadi pagi juga dia jemput gue kayak biasa." Sadira berujar sambil menatap wajah Nata. "Gue takut Devo berubah kayak dulu lagi, Nat. Lo tau sendiri usaha gue ngeluluhin dia itu sekeras apa."
Nata garuk-garuk kepalanya yang tak gatal. "Mungkin pacar lo lagi ada problem sama temen-temennya atau keluarganya. Coba lo chat aja."
"Devo dan keluarganya baru aja baikan. Gue rasa, semarah apapun Devo ke temen-temennya dia nggak akan meluapkannya ke orang lain."
"Positive thinking aja, Ra."
Sadira menghela napas. Matanya terpejam dengan pikiran yang melayang entah kemana. "Gue mau tidur dulu, Nat."
"Makan dulu, Ra."
Nata menarik napas lalu menghembuskannya ketika Sadira tak merespon. Tangan Nata terulur untuk membenarkan rambut Sadira yang menutupi wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"