Devo memarkirkan motornya di space kosong parkiran sekolah. Ia melepas helm, membiarkan rambut hitamnya berkibaran beberapa saat. Mata tajamnya bergerak ke sekeliling sekolah, menangkap banyak figur yang berkeliaran mengisi halaman sekolah.
Ketika Devo hendak melangkah menjauh dari motor dan meninggalkan parkiran. Berstatus sebagai cogan urutan pertama akan membuat siapapun diberikan perhatian oleh banyak murid.
Tatapan yang diberikan oleh siswi-siswi itu sama seperti biasa—tatapan kagum dan penuh harap. Namun, Devo tetaplah Devo. Ia tak mempedulikan seberapa banyak tatapan yang mengarah padanya.
"Devo!"
Suara itu mengagetkan Devo. Detak jantungnya yang tadinya normal, seketika jadi berdebar sangat cepat karena terkejut.
Devo menoleh ketika cewek itu berdiri di sampingnya sambil memamerkan cengiran khasnya. Rambut cokelatnya dihiasi oleh bando lipat berwarna biru cerah, bikin penampilannya semakin imut dan menggemaskan.
"Ke kelas bareng ya!" Sadira tersenyum manis sekarang.
Devo mengalihkan pandangan dari Sadira. Wajahnya menandakan bahwa ia tidak suka akan kehadiran Sadira. Karena kehadiran cewek kurus di sampingnya ini, membuat tatapan-tatapan itu berubah jadi tajam kala melewati halaman sekolah menuju lobi.
"Lo selalu diliatin mulu sama cewek-cewek yang lewat ya?" Sadira menyenggol lengan Devo dengan ringan, disusul senyuman lebar di wajahnya.
"Maklum, cewek kalo ngeliat cogan emang suka begitu," lanjutnya. "Lagian, punya muka kok ganteng amat."
Untuk ke sekian kali, Devo tidak merespon Sadira. Seperti sekarang, ia hanya diam ketika Sadira mengajaknya berbicara. Tak terasa, mereka berdua sudah memasuki lobi sekolah. Kini mereka melanjutkan perjalanan menuju kelas masing-masing yang memang berada di lantai dua.
"Semalem lo kehujanan ya?" Sadira bertanya, lagi. "Untung gue udah sampe di depan rumah. Jadi gak kehujanan ...."
"Kalo gue kejebak hujan, nanti gue sakit!" Sadira hampir memekik, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan dengan dramatis. "Oh, tidak."
"Apaan dah," Devo akhirnya mengeluarkan suara emasnya. Suaranya yang berat berhasil bikin bulu kuduk cewek-cewek berdiri serempak saat mendengarnya.
"Gak apa-apa, kok." Sadira tersenyum manja. "Cie, Devo mulai perhatian sama gueeee ... yes!"
Devo memutar bola mata—malas dengan tingkah menyebalkan Sadira. Ia mempercepat langkahnya supaya cepat sampai ke kelasnya.
"Lo lagi sariawan ya?" Sadira mengerutkan kening. "Daritadi cuma jawab dua kata doang. Gue ngerasa ngomong sama patung, tauk!"
"Cerewet banget, buset." Seandainya kalian ngeliat bagaimana wajah Devo saat berucap seperti tadi.
Datar, dan bercampur senewen.
Sadira cemberut. "Ish! Ya udah, gue gak mau ngomong lagi sama lo."
Devo melirik Sadira lewat sudut matanya. "Gue juga."
Sadira masih cemberut. Bibirnya mengerucut hingga hampir mengalahi kemancungan hidungnya. Ia melipat kedua tangan di depan dada, lalu menekuk wajahnya dalam-dalam.
Sempat terjadi keheningan di antara mereka berdua. Hanya terdengar derap kaki mereka yang menyentuh lantai. Serta suara samar-samar dari beberapa siswi yang melihat dan melintasi mereka.
"Lho, Devo sama Sadira?"
"Wuanjir ... Sadira bareng Devo!"
"Mantap jiwa, Bro!"
"Kalo Maura ngeliat, dia panas dalem dah! Tapi Devo cocok sama Sadira."
"Ho'oh ... gue nge-ship mereka."
Mendengar itu, Sadira menahan senyum. Siapa yang tidak senang saat dibilang cowok dengan cogan seperti Devo? Untungnya, Sadira masih bisa jaga image dan tidak berteriak heboh.
Ya elah, Devo membatin mendengar suara-suara para cewek itu.
"Gak usah baper," ceplos Devo bertepatan dengan langkah kakinya yang berhenti bergerak. Karena ia sudah sampai di kelasnya.
Sadira manggut-manggut, dan mengangkat ibu jarinya ke udara. Cewek itu hendak melangkah menuju kelasnya—11 IPA C, yang berjarak satu kelas dari kelas Devo. Ketika Aldi menyembulkan kepala ke luar kelas.
"Pagi, Sadira."
Sadira terkekeh mendengar sapaan lembut Aldi—salah satu badboy. Ia hanya tersenyum membalas sapaan tersebut. Kemudian, Sadira melangkahkan kaki menuju kelasnya.
🌸
Pergantian pelajaran. Seorang guru masuk ke kelas dengan membawa setumpuk buku. Wajahnya jutek tapi nggak galak, justru humornya receh—sebelas duabelas sama Sadira.
"Buka buku paket, kerjakan latihan soal halaman 45 nomor satu sampai delapan," perintah sang guru Fisika.
Sadira memperhatikan Lisa yang membuka buku paket, lalu menggeser tubuhnya mendekati Lisa—berniat ikutan melihat buku paket. Lisa melirik Sadira dengan bingung, seolah bertanya; kenapa?
"Mau liat, gue gak bawa buku paket," jawab Sadira pelan. "Buku paketnya ketebalan jadi males."
Akhirnya Lisa menggeser buku paketnya ke tengah meja, agar mereka bisa sama-sama melihat. Lisa sudah mulai mengerjakan nomor satu. Sesekali ia membenarkan letak kacamata minus-nya. Sadira hanya membaca berulang kali soal nomor satu, keningnya mengernyit. Dia sama sekali tak suka pelajaran Fisika. Bagaimana bisa mengerjakan satu nomor? Kalau rumus yang Sadira ingat hanya sebagian kecil.
"Lo ngerti, Lis?" Sadira bertanya saat Lisa sudah berganti nomor.
"Enggak," jawab Lisa enteng. "Gue cuma nulis yang diketahui doang. Matematika wajib yang rumusnya singkat plus gak ribet aja, gue gak bisa. Apalagi fisika?"
Sadira terkekeh pelan. Ia juga sama seperti Lisa tapi bedanya Sadira masih bisa mendapatkan nilai sempurna dalam pelajaran matematika. Namun kelebihan Lisa adalah, ia tetap berusaha meski tidak mengerti. Nggak kayak Sadira yang langsung malas kalau nggak ngerti.
Jadi, sekarang Sadira anteng berimajinasi sambil mencoret-coret bagian belakang buku tulisnya dengan pulpen berwarna pink.
"🎶 When you hold me in the street,
And you kiss me on the dance floor
I wish that it could be like that
Why can't it be like that?
Cause i'm yours ...."
Sadira bersenandung pelan. Suaranya yang halus dan merdu membuat siapa saja yang mendengarnya akan menoleh.
"🎶 We keep behind closed doors,
Every time i see you,
I die a little more
Stolen moments that steal as the curtain falls, it'll never be enough ...."
Sadira masih asik bernyanyi tanpa menyadari bahwa Nata—cowok manis yang duduk di samping kiri, mendengarkan dan menghentikan sejenak aktifitasnya.
Cewek yang memakai bando lipat berwarna biru itu menoleh ke kiri. Matanya membulat saat menyadari Nata menatapnya. Sadira tersenyum tipis dan membungkam mulutnya.
"Suara lo bagus," kata Nata.
Pipi Sadira memanas karena pujian dari Nata—cowok yang pendiam banget. Sambil tersenyum-senyum Sadira membalas, "thanks, Nat."
a.n
👆👆👆
gue suka sama adegan itu👯
KAMU SEDANG MEMBACA
Cappucino
Teen Fiction"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, bukan? Namun apa aku salah jika aku berharap pertemuan kita tidak bertemu dengan perpisahan?"