Chapter 9 - The Doubt

4.4K 78 9
                                    

Rio's POV

Aku mengerjapkan mataku, berusaha beradaptasi dengan cahaya yang menyilaukan mata. Tubuhku terasa lemas sekali, kepalaku terasa pusing.

'Aku dimana?'

Aku berusaha bangun, namun kepalaku berat sekali, aku tak sanggup menggerakkan tubuhku. Pandanganku menjelajahi ruangan tempatku berada. Ruangan bernuansa merah-hitam ini penuh rak dan alat-alat yang tergantung didindingnya. Kutajamkan pengelihatanku, ugh, cahaya lampu yang sangat menyilaukan ini membuatku semakin pusing.

'Jam berapa ini? Kenapa aku disini? Ruangan apa ini?'

Aku memejamkan mataku sejenak, berusaha berdamai dengan dentuman dikepalaku yang rasanya membuat kepalaku mau pecah.

Tiba-tiba aku mendengar suara pintu terbuka. Aku membiarkan mataku tetap terpejam,

'Mungkin baiknya aku pura-pura mati'

Sosok itu lalu meletakkan sesuatu yang dibawanya diatas nakas, ia lalu mematikan beberapa lampu ruangan sebelum duduk disampingku.

Dia mengelus perlahan kepalaku, sentuhan tangannya membuatku nyaman, dan entah mengapa membuat pusing dikepalaku perlahan menghilang. Aku memberanikan diri untuk membuka mataku. Sinar lampu yang tadi menyilaukan sekarang meredup, cukup nyaman dimataku.

"Sudah sadar sayang?" katanya lembut, tangannya masih mengelus kepalaku.

Aku menatap wajahnya lama, berusaha mengingat apa yang telah terjadi padaku. Ah, aku ingat tatapan wajah lembut itu.

"Mistress," sahutku pelan. Mistress tersenyum lega, ia mengecup keningku.

"Rio kenapa mistress? Rasanya lemes banget." Aku memegang tangan mistress, mencari kekuatan disana. Mistress tersenyum namun wajahnya menyiratkan kesedihan,

"Rio tadi pingsan. Maafin Mistress ya sayang..."

"Maaf buat apa mistress?" kataku bingung.

"Udah kuat bangun? Rio makan dulu ya..." Aku mengangguk.

Mistress lalu membantuku duduk, diletakkannya beberapa bantal untuk menyangga tubuhku. Saat aku menyandarkan tubuhku, aku mengernyitkan dahi. Tubuhku terasa sakit, begitu pula dengan bokongku.

"Sakit?" tanya Mistress.

Aku mengangguk lemah, kuarahkan pandanganku kewajah mistress, 'kenapa anda menunjukkan wajah seperti itu Mistress?' pikirku.

Mistress menyuapiku. Aku mengunyah makananku sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, 'ah, aku berada di playroom Mistress rupanya.'

Fakta selanjutnya yang kutahu adalah aku tak memakai apapun ditubuhku - termasuk pakaian dalam - dan tubuh bagian depanku terdapat bekas merah.

Aku membuka mulut untuk bertanya, namun sebelum kata-kata meluncur dari mulutku, Mistress telah memasukkan sesuap bubur ke mulutku.

"Habiskan dulu makanannya, nanti Mistress jelaskan."

Setelah mangkuk bubur itu kosong, Mistress memberikan beberapa pil dan segelas air.

"Apa ini Mistress?"

"Minumlah, kamu akan merasa lebih baik."

Aku percaya Mistress tidak akan meracuniku, kuhabiskan pil-pil itu dalam sekali tegukan.

Mistress lalu pindah kesebelahku,

"Berbaringlah Rio! Aku akan mengoleskan salep untuk mengobati memar ditubuhmu."

Mistress mengoleskan salep didadaku, perut, disebagian pahaku, lalu beralih ke punggung dan bokongku. Rasanya lumayan perih juga. Setelah itu mistress menyuruhku tidur dipangkuannya. Aku meletakkan kepalaku dipahanya.

Sambil mengelus-elus kepalaku mistress menceritakan apa yang terjadi hingga aku pingsan. Ah, jadi itu yang membuatnya merasa sedih. Saat itu aku sedang menjalani training terakhirku. Mistress mencambukku hingga aku... Ah, ini semua salahku, aku yang buat Mistress melakukan hal seperti itu.

"Maafkan Mistress slave." Kata Mistress saat mengakhiri ceritanya.

'huft kenapa masih manggil slave sih!' ucapku dalam hati. Aku lalu mengelus pipi Mistress.

"Mistress gak perlu minta maaf. Rio yang salah,"

"Kenapa kamu tidak mengatakannya?"

"Rio berusaha untuk menjadi apa yang Mistress inginkan, mencoba menahan rasa sakit sekuat yang Rio bisa, cuma itu yang ada dipikiran Rio dan i-itu eum... Rio lupa safe wordnya."

"Gimana bisa lupa sih?!" Mistress menghela nafas, matanya menatapku lekat-lekat.

"Mistress gak mau ini terjadi lagi Rio."

Matanya berkilat marah, namun tak mampu menutupi semburat sendu ditengah dalam tatapannya. Aku telah membuat Mistressku khawatir.

"Lain kali, kamu harus inget safe word-nya baik-baik. Rio harus bilang ke Mistress kalo Rio udah gak sanggup ngelanjutin scene. Gak ada adegan lupa safe word lagi slave."

"Iya, Mistress. Rio janji. Maafin Rio yang udah buat Mistress khawatir."

"Sekarang Rio istirahat ya. Kalau besok kondisi Rio udah memungkinkan, kita lanjutin scene yang tertunda hari ini. Rio harus istirahat. Jangan pikirin apa-apa. Tidur ya sayang."

"Iya Mistress. Rio mau mikirin kejadian ini, tapi kepala Rio masih pusing, Rio juga ngerasa ngantuk."

"Good then, tidur lah Rio." Mistress beranjak dari Kasur, merapikan posisi selimutku, dan mengecup keningku. Saat Mistress hendak pergi, aku merengkuh tangannya.

"Tidur sama Rio, Mistress." Pintaku. Mistress hanya tersenyum, kesedihan belum juga hilang dari wajah cantiknya.

'Apa yang membuat mistress sedih dan gundah?' sahutku dalam hati.

"Saat training ini selesai, kamu akan aku izinkan tidur bersamaku, slave." Sahut Mistress.

"Kalau begitu, pakaikan collar dileher Rio. Rio ingin merasakan anda didekat Rio, memiliki Rio, menjaga Rio."

"Baiklah slave."

Mistress lalu berjalan menuju rak diseberang kasur, mengambil collar dan memakaikan collar itu dileherku. Mistress mengecup keningku lagi, menyalakan lampu tidur, memadamkan lampu ruangan dan meninggalkan aku sendiri.

Sesaat kemudian, aku merengkuh collar dileherku. Tatapanku terpaku ke langit-langit kamar. Apa yang sebenarnya kulakukan disini? Kenapa aku bisa terlena dengan pesona mematikan Mistressku? Kenapa aku mau menyerahkan jiwa raga hanya demi fantasi seksualku? Saat aku menandatangani perjanjian itu, aku tak pernah berfikir kalau keadaannya akan seserius ini. Aku bahagia menjadi milik mistress, tapi rasa sakit ini bukan main rasanya. Apa aku sanggup menjalani semua ini?

***

Immersed in ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang