Aku gak perduli sih Rio mau dekat dengan siapa, toh aku tahu dia gak ada hubungan khusus dengan siapapun kecuali denganku. Aku hanya ingin memastikan teman-teman Rio gak ada yang berpengaruh buruk buat dia maupun buatku. Yang menjadi pikiranku adalah telepon pak Bos tadi.
Ada pembangunan apartment 20 lantai di Bandung yang diamanatkan padaku. Masalahnya bukan dengan proyeknya, tapi dengan siapa aku bekerja. Kayak dikantor gak ada orang lain aja sih, sampai di timku harus ada 'dia'nya.
Dengan setengah hati aku memacu mobil kearah kantor. Rapatku dimulai 20 menit lagi, tapi aku baru keluar dari kawasan kampus Rio. Biar lah terlambat juga, toh aku memang tidak ingin bertemu dengan orang itu. Aku mendial kontak Pak Bos.
"Bos, saya gak bisa ninggalin proyek, lagi ada masalah sama alat pancangnya."
"Loh, kata Pak Irwan kamu sudah pergi dari jam makan siang."
"Iya, Bos. Ini mau balik ke proyek lagi. Ada masalah. Saya harus ada disana."
"Sudahlah Rin, kan masih banyak orang juga disana. Lagian kalau yang bermasalah di alatnya kamu gak berguna ada disana. Hari ini kita rapat sama owner, jadi kamu harus datang. Kamu tanya mau dia gimana, permasalahannya apa. Saya gak mau tau, sebelum rapat dimulai kamu harus temuin saya dulu. Itu proyek sempat bermasalah sebelumnya."
Kalau udah keluar tuh kata 'saya gak mau tau' andalan si Bos, aku udah gak bisa berbuat apa-apa. Untungnya jalanan Ibukota sedang macet-macetnya. Sampai kantor, aku akan bertemu bos, lalu mengobrol panjang lebar jadi gak perlu ikut rapat.
Bodo amat ada owner dateng juga. Justru kadang owner yang buat ribet, pondasi harusnya panjang 30 meter dia mintanya 20 meter. Ambruk nah iya itu bangunan.
***
Aku keluar ruangan si Bos dengan lesu. Aku udah sengaja terlambat datang malah taunya owner juga belom datang. Dasar manusia Indonesia.
"Mbak, katanya mau kabur," sambut Amir saat aku menghempaskan pantat ke kursi.
Amir itu Juniorku di divisi yang sama, pria dandy yang wangi parfumnya suka membuatku pusing. Perawakannya tinggi, posturnya tegap, atletis. Tapi kalau sudah curhat, suka keceplosan ngondeka tunggal ika. Makanya dia gak mau sembarangan curhat ke orang yang gak dekat dengannya. But so far, kerjaannya bener sih, rapi, tepat waktu, dan gak banyak revisi. Engineering feelingnya akurat banget, dia gak perlu liat data hasil uji buat nebak permasalahan konstruksi. Andalanku kalau sedang kunjungan lapangan.
Aku menatap Amir malas. Membuka laptop dengan cepat, berusaha mengalihkan perhatian dari tatapan seseorang.
"Mbak, diliatin tuh sama Pak Divo."
"Mbak, mbak, kok Pak Divo ngeliatin kesini terus sih?"
"Gak kedip loh dia ngeliatin Mbak," lanjutnya.
"Kok bisa sih gak kedip gitu. Kelopak matanya buntung kali ya Mbak."
Aagggh. Lengkap sudah hidupku. Disampingku ada orang yang gak berhenti berbisik-bisik berisik. Didepanku ada orang yang terang-terangan ngeliatin kayak aku tuh hewan buruannya.
Disaat itu, muncullah bosku dengan bapak-bapak setengah abad. Semua perhatian terpaku pada kedua orang tersebut. Suasana diruangan mulai kondusif lagi. Thanks God, you save my life.
***
"Arin"
Aku pura-pura tidak mendengar panggilan itu dan melenggang pergi.
"Arin," suara itu terasa semakin dekat, diiringi tangannya yang terasa sedang mencengkram lenganku.
Aku menghentikan langkahku, diam, menunggu makhluk itu mengutarakan maksud dan tujuannya memegang tanganku.
"Lo kenapa jauhin gue sih Rin?"
"Lo masih marah karena kejadian itu? Itu semua salah paham Rin, gue udah berusaha jelasin tapi lo gak pernah mau dengar. Hhhh.. Okey, okey. Kalau lo anggap gue salah. Untuk yang kesekian kalinya, gue minta maaf."
Si bangsat menatap mataku lekat, kedua tangannya berada di bahuku.
"Kasih gue kesempatan, gue mohon. Gue gak mau hubungan kita jadi awkward kayak gini."
Aku menepis tangannya, melepaskan tubuhku dari posisi yang sejujurnya membuatku jengah.
"Bukan begitu caranya memohon sama gue," kataku sebelum meninggalkannya.
***
Aku menghempaskan bokongku ke kursi kerja. Kuputar kursi itu beberapa kali dengan pandangan nerawang menembus kaca ruanganku.
'hah, menyebalkan. Kayaknya aku harus pindah kerjaan biar bisa lepas dari orang itu.'
Aku memutar tubuhku malas ketika mendengar suara pintu diketuk.
"Mbak, ini blueprint proyek yang di Bandung, sama hasil uji data tanahnya."
Nilam, asistenku, datang membawakan setumpuk kertas lalu meletakkan dengan manis ke atas mejaku.
"Thankyou, Nil."
"Mbak ih, manggilnya kayak manggil kuda nil."
Aku mengabaikan protesnya, perhatianku teralihkan pada notifikasi pesan masuk.
Rio sent a photo
Aku tersenyum saat melihat swafoto Rio, ekspresinya sendu dengan bibir dimonyongin.
Gak bisa ngerjain UAS :(
Tambahnya memberi keterangan foto. Bocah gemesin ini selalu bisa balikin moodku. Aku langsung larut bertukar pesan dengan Rio.
"Mbak,"
"Eh, belom pergi, Nil?" Nilam nyengir kayak kuda nil. Persis.
"Kata Mas Amir, minggu depan Mbak yang survey ke Bandung sama Pak Divo, Mas Amirnya udah ada janji yang gak bisa dibatalin."
Oh, Lord. Kenapa aku gak bisa senang barang sebentar saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Immersed in Shadow
General FictionKetika sebuah cita-cita menjadi nyata, melebur bersama lenguhan dan tetes-tetes keringat. Membuktikan arti kepercayaan dan pengendalian diri. He said : Aku menyerahkan diri padamu, mengendalikan setiap nafas yang kuhirup, mengatur tiap degup jantun...