Kubiarkan Rio tertidur dipelukanku malam ini, aku harus mengelus kepala seseorang ketika pikiranku kacau. Untung saja Rio mau bermalam ditempatku, meskipun esoknya ia ada kuliah pagi dan aku pun harus pergi pagi-pagi buta. Dengkuran halus mulai terdengar, sudah terlelap rupanya. Aku tersenyum melihat wajah polos Rio saat tertidur. Manis sekali, mengingatkanku pada... Ah, disaat seperti ini aku tak pantas jika memikirkan orang lain.
Tapi, orang ini terus menerus mengusik kewarasanku.
Jam 5 gue jemput. See you tomorrow, Tya.
Kenapa dia menggunakan panggilan masa kecilku, kenapaa?? Kehadirannya belakangan ini seolah berusaha menghancurkan tembok pertahaan yang telah susah payah aku bangun. Penghianatannya terasa begitu nyata, begitu juga masa-masa manis saat mencintainya dulu.
Aku mengecup kening Rio perlahan, menikmati aroma shampoo dari rambutnya yang lembut. Hatiku begitu resah, terlalu banyak variable yang mungkin saja terjadi esok dan aku tak tau yang mana.
***
Sinar mentari menyilaukan mataku. Aku mengerjapkan mata, membiarkan korneaku terbiasa dengan cahaya yang masuk.
"Udah nyampe mana?"
"Pasteur, bentar lagi keluar tol."
Aku menguap, memastikan otakku cukup asupan oksigen saat aku terbangun, seraya meregangkan tubuhku. Hal yang selanjutnya kulakukan adalah mengecek makeup. Mau tidur secantik apapun tetap saja membuat riasan luntur. Kutepuk-tepuk area hidung dan pipiku dengan bedak tabur, lipstick masih stunning tak perlu dipoles lagi. Kurapikan lagi alat-alat makeup masuk ke dalam tas. Divo hanya senyum-senyum sambil sesekali melirikku. Bodo amat, toh kita memang hanya berdua di mobil ini.
"Mau sarapan apa?"
Kami sudah memasuki lalu lintas padat jalanan kota Bandung.
"Terserah," kataku malas.
"Mampir ke daerah kampus yuk, kangen masakan bu Awi."
"Muter-muter kali, kejauhan ah, mana lagi macet gini juga."
"Yaudah, mau apa dong?"
"Apa aja."
"Cari di pinggiran aja yaa... biar cepet. Yang penting makan, kan?"
"Iya, boleh."
"Nasi kuning mau?"
"Enggak"
"Bubur ayam?"
"Enggak pengen."
"Kupat tahu?
"Yang lain laah."
"Ayam bakar?"
"Terlalu berat buat sarapan."
"Mau roti aja?"
"Gak kenyang."
"Mau apa dong?"
"Apa aja lah... yang sekiranya enak aja."
"Hhhh, gak usah makan aja lah ya." Divo mulai kesal.
"Gue laper. Minggir depan tuh ada warung nasi kuning"
"Katanya gak mau nasi kuning?"
"Gue mau nasi uduk."
Aku keluar dengan cuek, meskipun aku tau Divo kesal setengah mati. Kupesan nasi uduk dengan segelas teh manis hangat. Disini kalau pesan teh dan gak bilang teh manis, pasti dikasihnya teh tawar. Aku asik chattingan dengan Rio sambil menunggu makanan datang, beberapa kali Divo mengajakku berbicara, namun tak kutanggapi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Immersed in Shadow
General FictionKetika sebuah cita-cita menjadi nyata, melebur bersama lenguhan dan tetes-tetes keringat. Membuktikan arti kepercayaan dan pengendalian diri. He said : Aku menyerahkan diri padamu, mengendalikan setiap nafas yang kuhirup, mengatur tiap degup jantun...