Setelah memastikan kondisi Rio sudah cukup kuat untuk melanjutkan training. Aku menyuruhnya mempersiapkan diri. Yeah, training Rio harus tuntas, dia harus paham benar apa yang harus dan tidak boleh dia lakukan, aku harus memastikan attitude-nya cukup baik bila bertemu dengan teman-temanku saat pertemuan para mistress berlangsung. Meskipun tentu saja aku tak akan mengizinkan Rio dipakai oleh mereka.
Tubuhnya masih tampak memerah akibat cambukanku kemarin. Aku memalingkan wajah, kuhembuskan nafasku perlahan. Haruskah aku melanjutkan trainingnya sekarang??
Aku telah menyakitinya. Apakah dia akan pergi menjauh setelah beribu perih yang kutorehkan? Tapi Rio-ku dengan patuhnya ia merangkak kehadapanku, merendahkan kepalanya agar dapat menggapai telapak kakiku dan mulai menyentuhkan bibir tipisnya keujung sepatuku.
"apa kau yakin bisa melanjutkan training ini, slave?"
"ya Mistress"
"start from cleaning my feet" ucapku pelan. Aku masih sangsi Rio sanggup menghadapi scene ini. Rencananya training terakhir ini aku akan mengenalkan Rio dengan sisi sadistku. Tapi menimbang apa yang terjadi kemarin, aku harus bersabar. Aku tidak bisa menaikkan intensitas permainan begitu ekstrim.
***
Aku telah berjanji pada diriku untuk memberikan kenikmatan saat training terakhir. Maka sesi training ini diakhiri dengan pijatan-pijatan lembut otot mulutku padanya. Rio mengerang, menikmati tiap isapan yang jelas kentara dari pipiku, tak lama kemudian Rio melepaskan hasrat yang telah ia tanggung selama lebih dari sebulan itu.
"Clean the mess up, slave." Kataku setengah jutek, pura-pura saja sih padahal.
Aku menyodorkan tanganku yang berlumur cairan itu ke wajah Rio. Rio hendak beranjak mengambil tisue yang terletak tak jauh dari situ. Saat ia akan berdiri, aku menahan tangannya.
"Mau kemana?"
"Mau ambil tisue mistress."
"uh uh. Gak pakai tisue, tapi pakai lidahmu." Kataku.
Rio mengerjapkan matanya, seolah menawar perintahku. Aku menatapnya tegas, menuntut dan memaksanya untuk segera melakukan apa yang ku inginkan.
Dengan enggan Rio kembali keposisinya semula dan mengulurkan lidahnya untuk menjangkau tetesan pejuh yang berceceran dijemariku. Lamat-lamat ia mengerjakan tugasnya. Beberapa kali ia tampak melemparkan tatapan puppy eyes nya padaku. Oh, its not work on me baby.
Tatapanku memaksanya untuk membersihkan sisa-sisa pergulatan kami, meskipun pada akhirnya tetap ia muntahkan. Aku rolled eyes melihatnya berlari ke kamar mandi. 'Tenang saja slave, nanti juga akan terbiasa...' Pikirku sambil tersenyum samar.
***
Aku menunggu Rio selesai dengan urusannya sembari membereskan tools yang tadi kami gunakan. Dengan telaten kubersihkan peralatan tersebut sebelum mengembalikannya ke tempat masing-masing.
Rio keluar dari kamar mandi dengan pinggang dililit handuk. Ia memelukku dari belakang, disandarkan kepalanya kebahuku.
"lelah?" kataku sambil mengusap-usap kepalanya.
"eung..." erangnya manja.
Aku menyukai kemanjaannya padaku, sisi yang ia tunjukkan hanya padaku. Aku ingin menikmati momen seperti ini lebih lama lagi. Tapi sepertinya Rio tak sependapat, mungkin punggungnya pegal memelukku dengan posisi seperti itu.
"aftercare mistress" rengeknya.
Aku memutar tubuhku, menghadapnya.
"kalau ada scene kedua, sanggup gak?"
"sanggup kalo istirahat dulu."
"kalo sekarang? Tanpa istirahat, sanggup gak?"
"euuunnngggg.... I'll do everything you want mistress."
Aku tersenyum senang, seketika itu pula kulucuti handuk yang melilit pinggulnya.
"on your submissive position!" Dengan cepat Rio merubah posisinya.
"keep in this position."
Ucapanku hanya dibalas dengan anggukan. Aku mengangkat dagunya dengan jariku.
"Jawab dengan kata-kata. Tetap diposisi ini sampai Mistress kembali. Do you understand me?"
"Ya Mistress," sahutnya.
Aku lantas meninggalkan playroom.
***
______
whooaaa... i know i know..
Scene kali ini mengecewakan kalian-kalian yang udah nunggu 'hot scene'... aslinya sih scenenya hot. beneran. cuma kata Rio jangan ditulis semua.. saya bisa apaaa...
Jadi maafkan chapter ini yaaa kesayangan..
muach :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Immersed in Shadow
General FictionKetika sebuah cita-cita menjadi nyata, melebur bersama lenguhan dan tetes-tetes keringat. Membuktikan arti kepercayaan dan pengendalian diri. He said : Aku menyerahkan diri padamu, mengendalikan setiap nafas yang kuhirup, mengatur tiap degup jantun...