Chapter 17 - The Cupid's Fate

2.9K 63 5
                                    

Hola peeps, author here...

Thankyou for all your support hingga saya bisa mengerjakan sampai chapter ini. Kali ini saya coba nulis dari sudut pandang orang ketiga. Pertama kalinya saya nulis pakai Author POV, hope you enjoy it :)

buat yang kangen sama Rio, semoga bisa sedikit mengobati kangennya yaa...

***

Cahaya mentari mulai menyeruak masuk kedalam kamar. Perlahan Arin membuka matanya, tergugah dengan keadaan ruangan yang tampak menyilaukan. Arin menggeliatkan tubuhnya, menikmati kenyamanan seprai lembut dan kasur empuk, serasa dirumah sendiri. Ia menguap lebar-lebar, memaksa udara segar memenuhi paru-parunya.

"Hoooaaaamm, morning sunshine...."

"Morning my queen."

Arin terkesiap, ia tak menyangka paginya akan disambut oleh seseorang. Bukankah ia sedang di hotel, menginap sendirian, terpisah dari rekan kerjanya. Memikirkan hal itu, pandangan Arin nyalang. Didepannya tampak seorang lelaki seumuran dengannya, hanya memakai boxer ketat, berjalan mendekat kearah ranjang. Tiba-tiba kepala lelaki itu dekat sekali dengan wajah Arin, bibirnya menyentuh kening Arin.

"Demam lo udah turun."

"Mana ada orang ngecek demam pake bibir."

"Yeah, cara baru, lebih ampuh." Divo menyunggingkan deretan giginya yang bergingsul seksi.

Divo pernah ingin merapikan giginya jaman kuliah dulu. Tapi Arin menahannya, "gigi lo seksi Poy, bikin gue ingin melumatnya habis-habisan" kilah Arin kala itu.

Hal itu juga yang membuat Arin mendorong tubuh Divo. Ia tak ingin terpedaya oleh pesona gigi seksinya Divo, meskipun Divo tak berniat menggodanya sama sekali.

Arin beranjak dari kasur, ia membawa serta selimut ke kamar mandi untuk menutupi tubuhnya. Arin tak ingin memberikan bahan tontonan buat mantannya yang brengsek itu. Tidak, bahkan sejak kemarin, Arin sudah tidak menganggap Divo brengsek lagi. Mantan iya, tapi gak brengsek. Meskipun apa yang mereka lakukan semalam bukan murni keinginan Arin, tapi toh ia tak menolak juga. Divo memperlakukan Arin dengan lembut dan sangat-sangat manis. Arin tak ingin mengakui ia luluh dengan ketulusan laki-laki itu, dia hanya sekedar membuka hati.

***

Mistress di loby.

Mau dijemput kebawah Mistress?

Gak perlu, tunggu dikamar aja.

Rio melempar smartphone-nya asal setelah membaca pesan dari sang Mistress. Segera ia melucuti seluruh pakaian yang menempel ditubuhnya. Pandangannya menjelajah keseluruh rumah. Kamar Arin sudah ia rapikan, piring bekas makan siangnya sudah ia cuci, dapur bersih. Rio mematikan TV sebelum memosisikan tubuhnya berlutut didepan pintu.

Sebenarnya tugas Rio hanya satu, yaitu merapikan tempat tidur Mistress, karena Mistressnya tidak bisa tidur jika kasurnya berantakan. Arin tidak pernah menyuruhnya membersihkan rumah. Rasa sayang-lah yang membuat Rio ingin lebih melayani Mistress. Rio berusaha bangun sebelum Arin untuk menyiapkan sarapan. Meskipun saat Rio membuka mata, Mistressnya telah lebih dulu berada didapur. Kalau sudah seperti itu, Rio hanya bisa memeluk Mistressnya dari belakang sambil mengucapkan selamat pagi. Meskipun setelah itu pasti diomelin karena memeluk Arin tanpa izin.

Rio duduk diam diatas lututnya, pikirannya sibuk memikirkan Mistress. Akhir pekan masih digunakan untuk bekerja, besok sudah harus ngantor, mistress pasti kelelahan. Tiba-tiba Rio teringat sesuatu. Diendusnya kedua ketiaknya bergantian,

"Gak bau keringat. Sip sip."

Tak berapa lama terdengar suara password ditekan. Rio merubah posisinya menjadi sikap sempurna. Sikap sempurna saat berlutut tentu saja. Pintu terbuka. Hal pertama yang Arin lihat adalah sikap submissive lelaki favoritnya. Arin tersenyum.

"Welcome home Mistress."

Dielusnya kepala Rio sayang. Pandangan Rio bertemu dengan manik mata Arin. Rio membalas senyum Arin, lalu ia segera menundukkan kepalanya lagi. Patuh. Submissive mode ON.

"Kapan datang, Slave?"

"Jam dua tadi Mistress."

Arin menyodorkan kakinya kearah Rio. Paham dengan isyarat yang diberikan, Rio langsung membantu Arin membuka sepatu, lalu kaus kakinya. Diendusnya kaus kaki Arin sebelum diletakkan ke lantai. Kepala Rio menengadah, ekspresinya memohon.

"You may kiss my sweat feet."

"Thankyou Mistress." Jawabnya girang.

Ereksi menyambut ketika bibirnya bersentuhan dengan kaki sang Mistress.

'Ah norak banget nih tytyd baru juga ketemu kaki,' omel Rio dalam hati. Rio menarik nafas dalam-dalam disela jari kaki mistress. Sungguh nikmat. Sangat berbeda dengan aroma kakinya sendiri.

"Cukup. Mistress mau ke kamar."

"Baik mistress."

Rio menarik mundur kepalanya dari kaki Arin.

***

Arin baru saja sampai diperaduannya. Ia menghempaskan tubuh kekasur, meluruskan tulang-tulang punggung yang terlalu lama menopang beratnya hidup. Pria kecilnya mengekor naik ke kasur setelah meletakkan tas tangan Arin ke meja kerja diruangan itu. Dipandangi nyonya mudanya yang sedang memejamkan mata, ia merasa iba melihat mistressnya yang kelelahan, ia ingin memberikan pijatan lembut di tubuh sang Mistress, sekedar untuk melemaskan otot-otot tubuh majikannya. Namun, ia tak berani menyentuh Mistressnya.

Akhirnya ia memutuskan untuk menyelimuti tubuh wanita yang ia hormati itu.

Kegiatannya terhenti saat ia melihat isyarat tangan Mistress yang menyuruhnya mendekat. Rio yang mengerti isyarat itu lalu merebahkan kepalanya diatas perut Mistress. Dibiarkannya rambut hitam pendek itu dielus oleh sang Mistress.

"Mistress capek ya?"

"Eung"

Rio ingin sekali berbuat sesuatu untuk Mistressnya, tapi ia tak mungkin menggerakkan tubuhnya saat ini, tidak saat Mistress sedang mengelusnya.

"Gak nyaman ya posisi tidurnya? Kok kayaknya resah gitu."

"Nyaman kok mistress. Rio gak kenapa-kenapa."

Lalu semuanya terdiam, larut dengan pikiran masing-masing. Tangan Mistress masih bergerak teratur mengusap rambut Rio.

"Maaf mistress terlalu sibuk belakangan ini, jadi kurang merhatiin Rio."

"Buat Rio itu bukan masalah, asalkan bisa mendapat kabar dari mistress setiap hari, itu udah cukup. Justru Rio yang harus minta maaf, kemarin gak ada kabar karena kuota Rio habis. Maaf udah buat mistress khawatir."

"Kita udah bahas itu di chat, gak perlu diungkit lagi."

'Jika perlu perjalanan ke Bandung dianggap tak pernah terjadi,' ucap Arin dalam hati.



Immersed in ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang