Rio bergeming, tangan dan kakinya terikat pada rantai diujung kasur. Lampu playroom kubuat meremang. Aku mendekati Rio, cakarku menyentuhnya dari ujung kaki hingga ke paha. Rio tau saatnya telah tiba. Oh, aku bahkan bisa mendengar degup jantungnya. Aku tersenyum kecil, menatap lekat manik matanya.
"Breath baby, calm down."
Rio membalasku dengan senyum kecil, lalu menundukkan kepalanya. Responnya semakin bagus dari hari ke hari.
Jariku berpindah ke akesoris berbentuk permata yang tertaut dengan sebuah plug stainless yang menerucut di bagian ujungnya. Plug ini telah memenuhi Rio dari kemarin. Saat kusentuh sedikit permata itu, tubuh Rio meremang, kujambak rambutnya sambil terus memainkan jariku dibawahnya. Desah Rio tak terbendung, tubuhnya menggeliat. Gemas. Ingin ku gigit bibir yang kemerahan itu.
Hidungku mendekat, mengendus dari pelipisnya, menikmati aroma tubuh Rio yang menguar bersama gairah yang meledak-ledak. Hidungku bergerak menelusuri pipinya perlahan, lalu kearah hidung mancungnya yang bernafas cepat.
Kurtarik rambutnya bersamaan dengan kulepas plug dari lubangnya. Ia melantunkan namaku, nafasnya seperti orang yang habis lomba lari, menghirup udara dengan mulut dan hidungnya. Kalau kututup mulutnya, apakah dia masih bisa bernafas dengan normal? Aku tak akan tahu hasilnya kalau belum mencoba.
Bibirku bermain di dagunya, mengecup-ngecup kecil menjelajahi bidang yang sempit. Rio menyambut permainanku, bibirnya berusaha mengikuti kemanapun aku bergerak, berusaha menggapai bibirku. ketika ia berhasil menarikku dalam sebuah kecupan yang menggelora, saat itulah plug yang semula bermain di depan lubang menerobos masuk.
Rio melepaskan kecupannya.
Aku menarik diri.
Kuraih dua buah flogger dari tray tak jauh dari ranjang. Semua tools yang mau kupakai sudah kusiapkan dalam tray yang mudah terjangkau.
"Head up Rio." Tanganku berayun seirama dengan desahan Rio. Kehadiahi seluruh tubuhnya dengan cambukan-cambukan segar. Kepalanya harus mendongak agar tak terkena flogger saat aku mencambuk daerah dadanya. Dengan sengaja aku mengarahkan cambukan dibawah pusarnya, beberapa rumbai cambuk mengenai pusat kenikmatannya.
"Arggh" Rio mengeliat cantik, seperti sengaja menggodaku.
"Sing for me Rio"
Jika diartikan, kira-kira maknanya, mendesahlah lebih kuat dan lebih liar lagi. Aku mempercepat cambukanku agar Rio dapat bernyanyi dengan baik.
Flogger cukup untuk memanaskan tubuhnya. Kulitnya menghangat, meremang kemerahan. Cukup pemanasannya, kuganti cambukku dengan leather whip. Melecut cepat, menghasilkan suara yang lebih merdu.
Aku menyunggingkan senyum, semangat untuk hal ini.
"Siap Rio?" Rio menganggukkan kepalanya sambal menutup mata erat-erat.
"Oh, don't be scare Slave. Its not that bad."
"Yeessshh... Aarggh..." jawabnya menyambut lecutan pertama.
"Don't forget your safeword." Lecutan kedua menyentuh dadanya, garis merah membekas disana kontras dengan kulitnya yang putih.
Nyanyainnya mengiringi lecutan-lecutan selanjutnya. Tiga puluh, tiga satu, tiga dua, tiga lima.
"Arrggahhhh...hhhhh" nafas Rio terengah-engah. Teriakan bersahutan dengan ucapan terimakasih. Keringat bercucuran didahinya. Tubuhnya yang sedari tadi menggeliat berontak, menjadi lunglai.
Aku menggigiti dagunya. Ia meresponku dengan desahan, matanya sayu menggoda untuk dinikmati.
"You look exhausted."
"Please use me Mistress."
"Im not gonna exploite you,"
"I m ok. Please use my body,"
"You want more? Persuade me." Aku beranjak dari tubuh Rio. Mataku tak lepas dari menatap matanya. Ia merengek, memohonku untuk tetap bersamanya.
Aku bergerak meninggalkan kasur.
"What should I do to serve you, Mistress?" Senyumku mengembang.
"Beg,"
Rio terus mengulang kata-kata yang sama, "Please let me serve you. Use my body, Mistress." Semakin lama suaranya semakin desperate. Aku jadi bingung, mana yang lebih kusuka, nyanyian kesakitannya atau suaranya yang desperate.
Laci ketiga dalam lemari tools berisi metal device, chastity, buttplug, sounding. Aku menimbang beberapa saat sebelum mengambil beberapa alat. Kubuka laci kedua yang berisi koleksi dildo dan strap on. 'This is the time.' Aku mengambil strap on lalu melingkarkannya di pinggulku. It fits perfectly. Sementara itu suara Rio terus memohon menjadi backsound. Seperti rekaman yang diputar berulang-ulang. Suaranya tampak lebih bersemangat ketika mendengar langkah kakiku mendekatinya.
Ia melihatku takut-takut, namun manik matanya tak bergerak menatap pinggulku. Such a pervert. Penisnya yang mengembang saat kucambuk tadi tampak mengecil sekarang. Perfect size to be chastitied.
"I will use your body, Honey. Isn't it what you want?"
"Ye-yes, Ma'am"
"Let me secure you first, with this..." Mata Rio membelalak.
"No, no... I'll be a good boy, jangan pakai itu Mistress..."
"This is not about being a good or bad boy. This is to remind you, that everything we will do are to please me, to serve me. So, should I put this on you?"
"I will do anything you want Mistress." Kulumuri penisnya dengan sedikit lubricant,
"Akan lebih intense nanti, you should be ready." Sebentar saja spiked chastity sudah terpasang dengan manis, ku pasang gembok dengan sekali klik. Kepala nya menggembung, tampak tersiksa, kuelus bawah kepalanya agar ia tenang.
"Don't tease me Mistress..." bujuknya. Aku tergelak mendengarnya. Dahinya mengernyit, sakitkah? Atau enak? Apapun itu, responnya membuatku basah. Aku sudah tak sabar menyantap makan malamku. Kulepas plug yang memenuhinya. Satu jari kusodorkan untuk mengecek denyut lubangnya. Rio masih terlalu tegang.
Kulumuri "penisku" dengan lubrikan, mengurut dari ujung hingga pangkal. Dia harus tau aku akan menggagahinya sebentar lagi.
"Buka kakimu lebar-lebar! I know its your first time. I'll be gentle. Don't worry."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Immersed in Shadow
General FictionKetika sebuah cita-cita menjadi nyata, melebur bersama lenguhan dan tetes-tetes keringat. Membuktikan arti kepercayaan dan pengendalian diri. He said : Aku menyerahkan diri padamu, mengendalikan setiap nafas yang kuhirup, mengatur tiap degup jantun...