Chapter 14 - The One Before You

3.5K 74 25
                                    

Kalian ingat, orang yang meneleponku tempo hari, yang dengan suksesnya mengacaukan moodku, sebelum aku training sama Rio. Iya, orang itu si bangsat. Aku malas menyebut namanya.

Sejak hari itu si bangsat mencari-cari cara mendekatiku lagi, aku bukannya Ge-eR atau apa. Tapi tindakannya itu too obvious. Mulai dari chat tiap hari, telepon tiap malam yang langsung aku reject, sering datang ke divisi ku, hingga mengajukan untuk satu proyek dengan ku. Padahal proyek yang kukerjakan kali ini tidak berkaitan dengan bidang keahliannya.

Apasih maunya tuh orang? Dia menguntitku di kantor dan menerorku di rumah. Okey, mungkin dia gak menguntit ku, tapi aku merasa seperti itu.

Habisnya, alasan dia ke divisiku tuh enggak banget. Masa' kapan itu dia ke divisiku dengan alasan mau numpang fotocopy, gegara mesin fotocopy didivisinya lagi dipake anak buahnya.

Meh, sejak kapan dia mau sibuk-sibuk fotocopy sendiri, biasanya juga nyuruh orang. Dia kan Top Man-nya divisi Transportasi. Aku mendengus kesal, alasannya untuk menemuiku terlalu dibuat-buat. Tentu saja aku tak mengacuhkannya.

Aku tertegun menyesap coklat panasku, sambil menatap langit senja dari sofa santaiku.

"Khairy Pradivs Al-Hamid, sekarang apa maumu?"

Sudah dua tahun lebih hubungan kami kandas, aku memutuskannya sepihak dan terus menghindarinya sejak saat itu.

Kuletakkan cangkir yang isinya masih mengepul itu keatas meja. Aku menghela nafas perlahan. Tak bisa kupungkiri, pesonanya begitu memikatku. Aku harus bekerja ekstra keras untuk bisa berhenti meratapi ketiadaannya dalam hidupku. Aku mencintainya, bahkan sampai saat ini pun rasa cinta itu, rasa rindu itu masih ada. Jika saja aku mau mengalah pada egoku.

***

Seorang Ayurintya Andara tidak percaya cinta.

Cinta itu tai kucing. Seindah apapun kata cinta, hanya akan berakhir tangis mengharu biru. Memuakkan.

Prinsip –cinta tai kucing- itu bukan tak beralasan, tengoklah orangtuaku. Role modelku soal indahnya cinta, ujung-ujungnya cerai juga. Bukan berarti aku membenci mereka, tidak, tidak. Aku sangat menyayangi mereka. Aku masih menjalin komunikasi dengan baik dengan ayah dan ibu, meski aku memilih hidup sendiri. Hanya saja cinta antara laki-laki dan perempuan itu tabu.

Tapi aku melanggar prinsip itu, membiarkan diriku jatuh terpuruk dalam kebahagiaan semu bernama cinta. Aku mempercayakan lelaki itu membawaku ke padang bunga asmara, menari bersama lope-lope diudara, membiarkan kehangatannya mencairkan hatiku yang beku. Aku masih merutuki kebodohanku saat mengingat masa-masa itu.

Divo-lah yang mengenalkanku pada gaya hidup ini, dia membebaskan jiwaku, membuat aku menjadi aku yang sekarang. Dia adalah orang yang mematahkan prinsipku, sekaligus menguatkannya.

Aku menyerah dengan hal-hal berlandaskan cinta. Alergi lebih tepatnya.

***

"Mistress udah lama nunggu?"

Ucapanku tampaknya membuat Mistress terkejut.

"Kok Mistress tiap hari ke kampus Rio?"

"Emangnya gak boleh?" Sahut Mistress sembari menyalakan mesin mobil.

"Kita mau kemana? Rio ada kelas lagi setengah tiga."

"Makan doang kok, gak akan gue culik."

"Diculik juga Rio seneng Mistress." Sahutku sambil memperhatikan pakaian Mistress yang tampak gagah dengan kemeja dan celana lapangan.

Penasaran, aku menoleh ke jok belakang. Banyak barang berserakan disana, ada tabung untuk menyimpan gambar, tumpukan map dan kertas-kertas, safety shoes berlumpur yang mulai mengering, helm proyek dan kotak-kotak yang aku tak tahu apa isinya.

"Mistress dari proyek?"

"Iya," sahut Mistress pendek, fokusnya masih ke telepon pintarnya.

"Mistress kalo nyetir jangan mainan HP ih," kurebut ponsel itu dari tangan Mistress.

"Sini ah, itu urusan kerjaan Rio."

"Ntar Rio kasih pas udah nyampe tempat makan. Emangnya perusahaan Mistress bakal nanggung apa kalo Mistress kecelakaan?"

"Iya, kan ada asuransi."

Goblok, kok aku gak kepikiran yaa... Dengan cepat kuputar otak untuk membalas omongan Mistress.

"Tapi kan enggak dengan sengaja nabrakin diri juga Mistress."

"Enggaklah sayang, kan Mistress masih liat jalan. Sini, ntar si bos nelepon loh kalo gak dibales."

"Emang bos Mistress gak tau ini jam istirahat? Masa disuruh kerja ter..." belum selesai aku bicara, telepon Mistress berbunyi.

"Nah kan," kata Mistress sambil memasang earpiece ke telinganya. Mistress larut dalam pembicaraan 'penting' sama bosnya. Aku hanya bisa cemberut, kali ini pun aku kalah kalau berdebat dengan Mistress.

***

"Jadi Mistress yang ngerjain proyek di samping gedung F." kataku sambil menyeruput es kelapa muda.

"He eh," sahut Mistress yang masih asik menyesap tulang-tulang ayam, diletakkan tulang yang sudah tak ada rasanya lalu mengambil tulang lainnya.

Lagi-lagi Mistress membuatku terpesona, kalo lagi makan di tempat yang berkelas, anggunnya luar biasa. Tapi kalo lagi makan di pinggiran kayak gini, tulang ayam sampe diemutin coba. Apalagi kalo makan ikan, ludes habis sampai kepalanya. Itu kucing udah ngeong-ngeong padahal.

"Kok gak bilang-bilang sih Mistress?"

"Lah, kan ini udah bilang."

Ih, kesel bet gue, untung cantik.

"Jadi Mistress bakal ke kampus Rio tiap hari dong?"

"Gak tiap hari juga, paling seminggu tiga atau empat kali lah."

"Sampai berapa lama Mistress?"

Mistress menatapku lama sebelum menjawab pertanyaanku.

"Kenapa? Takut ketauan belangnya?!" sahutnya sambil berlalu, mencuci tangan ke wastafel.

Setelah dirasa bersih, ia duduk kembali didepanku. Menarik tissue banyak-banyak untuk mengelap tangannya yang basah.

"Sekitar dua – tiga bulan laah Mistress disana. Habis itu kamu free kok."

"Bukan gitu Mistress, ntar temen-temen Rio pada curiga kalo Rio ngilang terus."

"Emangnya selama ini belom ada yang curiga? Kenalinlah Mistress sama Saka, Anton, Fredy, Yusuf, terus siapa itu yang kecil imut, Ryco?"

Shit, tau dari mana coba... Selain Saka yang emang sahabatku dari kecil, aku gak pernah menceritakan tentang teman-teman kuliahku ke Mistress.

"Kalo enggak, kenalin sama Rissa atau Dina."

Mendengar dua nama terakhir aku ingin berlutut didepan Mistress, tapi tidak disini. Mungkin nanti sebelum aku dieksekusi.

***

Immersed in ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang