Part 6

5.4K 306 9
                                    

Lana

Persiapan keberangkatan kami sudah ditentukan, minggu depan. Pasport, visa tinggal untukku, dan semua keperluanku selama disana sudah disiapkan jauh-jauh hari.

Ini malam minggu, dan aku memaksa Rangga untuk ikut denganku mengunjungi kedua orang tuaku, untuk pamitan, dan meminta doa dari mereka, dua tahun bukan waktu yang sebentar, dan aku yakin, aku akan sangat merindukan mereka.

Rangga hanya tertawa mendengar rengekanku untuk mengajaknya ke rumah mama dan papa, tapi aku tahu binar matanya sedang menggodaku. Dan yang aku lakukan hanya melanjutkan omelanku, dan Rangga hanya menarik tanganku dan tubuhku kedalam pelukannya, menyumpal omelan yang akan keluar dari mulutku dengan ciumannya yang hangat dan basah, dan yang aku lakukan hanya memeluknya erat dan memperdalam ciuman itu.

Dan Rangga yang tidak menyangka reaksiku akan sedahsyat itu, tampak terkejut, tapi selanjutnya kami saling memberi dan menerima, karena aku dan Rangga sama-sama membutuhkan.

* * *

Rangga

Siang ini, Lana sedang sangat-sangat cerewet sekali, ia terus-terusan mengingatkanku untuk datang ke rumah orang tuaku dan orang tuanya, dan aku memang ingat. Hanya ingin menggodanya, secara selama satu bulan aku ada bersamanya, kami berdua sama-sama sibuk, menyelesaikan pekerjaan kami yang akan kami tinggal sementara.

"Pokoknya aku tidak mau tahu, hari ini kita berdua harus jadi ke rumah mamih dan ke rumah Mama, dan menginap disalah satu rumah itu, terserah mau nginep dimana." Terdengar omelan Lana, membuatku tersenyum.

"Iya, aku ingat kok."

"Kalau ingat kenapa masih diam saja, belum siap-siap." Lanjutnya, sambil menatapku yang masih asyik membaca koran pagi.

Aku bangkit dari dudukku, aku tarik tangannya, hingga ia jatuh di kedua pahaku, dan aku ciumi bibirnya yang seharian ini ngomel tanpa henti.

Saat aku mulai menciuminya, ia mengerang, aku berhasil membuatnya menginginkanku, dan itu memicu gairahku sendiri untuk menuntaskan hasratku yang terpendam selama ini kepadanya. Aku tarik ia keatas tempat tidurnya.

Aku mendengar suara Lana memohon kepadaku, namun aku tidak memahami kata-katanya. Aku hanya bergerak dan memberikan sesuai dengan kebutuhan untuk pemuasan, tubuhku mendambakannya bergerak penuh gairah saat kami berdua tengah meniti tangga gairah bersama-sama.

Tiba-tiba Lana menggigit bahuku, dan teriakan nikmatnya memicu gairahku sendiri untuk dituntaskan. Dan aku merasa seakan aku dijatuhkan dari sebuah ketinggian ke dalam gelombang kenikmatan yang menggelora. Aku memeluk erat tubuh Lana, saat aku akhirnya menjadi kaku, berteriak, dan menumpahkan benih cintaku didalamnya. Sebelum akhirnya aku menumpangkan tubuhku diatas tubuhnya.

Ia menyusupkan kepalanya ke dadaku yang bidang. Dan aku semakin menariknya kedalam pelukanku. Napasku masih terputus-putus, dan ia beberapa kali menarik napas berat untuk menetralkan napasnya yang hamper habis.

Aku tersenyum, selalu seperti ini, dan ia mampu membuatku untuk bias menginginkannya lebih dari hari ke hari, aku tidak mau kehilangan Lana, sadar atau tidak, Lana telah menjadi penghuni tetap dalam hatiku.

* * *

Jam di dashbor mobil menunjukan pukul enam kurang lima belas menit. Saat mobil yang aku kendarai sudah sampai ke halaman rumah orangtua Lana. Setelah sebelumnya kami berkunjung ke rumah orang tuaku.

Dan tampak mama juga papa menyambut anak perempuan mereka di teras depan sambil minum teh, menunggu adzan magrib yang akan segera tiba.

Halaman tampak sepi. Yang ada hanya Pak Eman yang tadi membukakan pintu gerbang, yang tampaknya akan menunaikan sholat magrib di masjid dekat rumah orang tua Lana.

Setelah membuka pintu mobil untuk Lana, aku meraih pinggang Lana dan mengajaknya masuk ke rumah yang tampak terang benderang.

Mama menyambut kami dengan bahagia, mama langsung memeluk Lana dan aku dengan penuh kerinduan. Ia lama menatapku lama sebelum berkomentar, bahwa aku sekarang ini semakin kurus dan tampak pucat.

Wajahku memanas, tampak Lana tersenyum puas, tapi aku tak mau begitu saja melepaskannya, aku katakan kepada mereka, bahwa selama satu bulan ini Lana menelantarkan aku dan hanya sibuk di rumah sakit, saat mendengar kalimat panjangku, tampak wajah Lana memerah karena malu. Tapi aku merasa ada jalan, karena itu aku peluk Lana dengan mesra dan aku ciumi wajahnya dengan mesra, tidak peduli mama dan papa yang memperhatikan kami, dan mengomentari tingkah kami yang katanya seperti remaja yang baru jatuh cinta.

Selesai melaksanakan sholat magrib berjamaah bersama mama dan papa, kami masih melanjutkan obrolan kami, abang-abang Lana yang lain, yang masih terjebak macet di jalan.

Selama makan malam, banyak obrolan yang kami angkat, keinginan Papa untuk bisa segera menambah jumlah cucu, menatapku tajam, cucu perempuan dan kembali menatapku, menegaskan keinginannya.

* * *

Mama meminta kami untuk tidur di rumah ini, karena mama masih kangen dengan Lana yang jarang datang menengoknya karena kesibukannya di rumah sakit dan klinik kecilnya, mereka biasanya berkomunikasi hanya melalui saluran telepon. Maka malam ini terdamparlah aku di kamar tidur masa muda Lana.

Saat itu Lana baru selesai mandi, saat aku hampiri tubuhnya aku lingkari pinggangnya dari belakang. "Ga."

"Kalau kamu habis mandi, kenapa sih selalu wangi sayang, dan rasanya begitu enak." Bisikku ditelinga Lana, saat ini sasaran ciumanku pindah kelehernya. Tanganku yang melingkari pinggangnya, Lana biarkan mengelusi perutnya dari balik pakaiannya.

Tampak sekuat tenaga Lana mencoba menghentikan perbuatanku, dan aku berhasil membalikkan tubuhnya menghadapku, tapi aku masih segan melepaskan tubuhnya. Saat ini sasaran ciumanku adalah bibir dan seluruh wajahnya.

"Ga, Jangan!" Tegurnya sebelum kehilangan kendali diri.

Aku tertawa tanpa menghentikan kegiatanku. "Rasa kamu terlalu menggiurkan untuk aku lewatkan La!" Jawabku.

"Ga..."

Aku memutus ucapan Lana dan menariknya ke tempat tidur di kamar yang kami tempati.

Setelah aku menutup pintu dan menguncinya, aku kembali menghampiri Lana, pelan tapi pasti aku menciumi apapun yang ada padanya, wajah, bibir, belakang telinga, dada, dan semuanya. Lana tampak tidak bias melakukan apapun, karena kenikmatan ini begitu intens menghampirinya. Kenikmatan yang baru kembali bisa aku nikmati ini.

Aku berusaha mengertikan kebutuhannya, karenanya aku memberikan apapun yang Lana ingin rasakan. Udara disekitar kami semakin panas, panas dan panas. Aku tahu Lana sudah hampir mendekati puncak pendakian, akhirnya, aku mengawali semuanya dengan pelan, pelan, pelan, agak cepat, cepat dan sangat cepat.

Hingga akhirnya Lana berteriak liar, saat merasakan aku menegang, bergetar, dan menumpahkan benih cintaku di dalam dirinya.

Beberapa lama kemudian Lana membuka mata dan menatap mata hitamku yang cemerlang, "apa yang terjadi padaku?"

Aku mengangkat sejumput rambut hitam Lana yang menutupi pipi, dan mengusap-usapnya, "kita baru mengalami pengalaman indah bersama-sama,"

Wajah Lana memerah ketika menyadari tubuh telanjang kami yang saling bertautan, "Aku harus segera mandi untuk sholat Isya."

Aku menarik bahu Lana untuk tetap berbaring disebelahku, "sebentar ya sayang." Bisikku.

"Kalau aku diam seperti ini, aku bisa-bisa langsung tertidur Ga!"

"Tidurlah sebentar," bisikku kembali sambil memeluk bahunya, "istirahatlah, kamu capek, lagian beberapa saat lagi aku pasti akan menuntut kamu untuk melakukannya kembali bersamaku."

Lana tersenyum dan menyurukkan wajahnya di dadaku.

"Kita melakukan ini tanpa pengaman Ga!" Sambil kembali menatap mataku.

Aku tertawa, "aku ingin kamu segera hamil buah cinta kita sayang!" Bisikku padanya.

"Kamu tidak menginginkan anak dariku Ga." Kata Lana wajahnya memerah karena malu.

Aku tertawa sambil menganggukan kepala, dan mencium keningnya lama, "tidurlah," kataku, dan mengusap-usap punggungnya, hingga Lana yang lelah langsung terlelap.

The Right MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang