Halooo.. Aneyong Aseo, apa kabar? Kumaha damang? How are you? Akhirnya... Aku bisa update lagi kisah yang ini. Perjuangan banget, karena minggu ini sangat-sangat sibuk (sibuk tidur maksudnya hehehe...).
Adakah yang nunggu cerita ini? Semoga ada ya? Kasian banget aku kalau sampai nggak ada yang nunggu, udah mikir lama-lama, pake semedi juga, eh nggak ada pembacanya, atau walaupun ada pembacanya, tapi pada pelit vote. Hehehe... Curcol Cyinn...
Jangan lupa juga mampir ke lapak, "Aku yang Tidak Diinginkan" ya.. Dan ke lapak, "Save Marriage" yang sudah selesai, tapi lapi dibuat extra partnya, yang ilhamnya susah banget dapatnya.
Dannn... Jangan lupa, tinggalkan jejak-jejak cinta untukku ya... Biar semangat gitu..
Selamat membaca ya...
****
Lana
Dua bulan kemudian,
Perjalanan kali ini terasa lebih sendu, mungkin karena suasana hatiku yang tidak menentu, sedih, karena kepergianku kali ini ke DC, seperti sebuah pelarian dari setiap permasalahan yang sedang aku hadapi saat ini.
Menggigil, walaupun Rangga masih dengan mesra dan hangat memelukku, menyalurkan sedikit kehangatan tubuhnya kepadaku, mungkin pengaruh bulan Desember yang kelabu.
"Wajah kamu pucat banget sayang," panggilan sayang dari Rangga tidak terlalu aku cermati, karena saat itu aku sedang sibuk membetulkan letak tas tanganku. "Semalam tidak tidur nyenyak ya?" Bisik Rangga memperhatikan wajahku.
Aku tertawa pahit, "coba itu siapa yang ngomong." Jawabku, "yang ngomong juga harus lihat cermin, lihat lingkaran hitam dibawah matamu," jelasku sambil mengusap lingkaran dibawah mata Rangga yang menghitam.
Rangga tertawa pelan, menarik wajahku dan menciumiku dengan lembut, setelah itu, ia melepaskannya dan berpindah memegang tanganku, dan menariknya kebibirnya, jengah aku menariknya, tapi Rangga menahannya dan tersenyum.
Rangga dan aku hanya tertidur sebentar tadi malam, berbagai kejadian yang terjadi beberapa bulan belakangan ini, sebagai pukulan berat yang datang bertubi-tubi untukku, dan sepertinya Rangga merasakannya.
Dan saat terbangun tadi pagi, Rangga masih erat memelukku, dan saat aku beringsut mau ngambil wudhu untuk sholat subuh, Rangga menahanku dan menciumiku, hingga akhirnya pelayaran mengakhiri semuanya, setelah kejadian itu, Rangga belum pernah sekalipun menyentuhku kembali, ia tampak segan memintanya, atau mungkin kebutuhannya yang itu sudah tercukupi oleh kehadiran Gea di tengah-tengah kami, padahal aku sangat merindukannya.
Pesawat yang kami tumpangi akhirnya mendarat di Nasional Ronald Reagan Washington airport, aku menatap keluar jendela pesawat, lapisan tipis es menghiasi landasan pacu yang licin. Cuaca dingin menyambut kami, suhu minus 2 derajat celcius membuatku dan Rangga yang terbiasa hidup di negara dengan suhu tropis begitu menggigil kedinginan, dan tampaknya disini pun sebagian orang malas keluar rumah, bandara tampak sepi, hanya orang-orang yang baru turun dari pesawat, petugas, dan beberapa orang yang menjemput.
Rangga yang berjalan disebelahku, mengeluarkan ponselnya, menekan sebuah nomer. Tak lama kemudian pembicaraan Rangga terhenti, dan Rangga menarik tubuhku kearah sebuah coffe shop, "wajah kamu pucat, kita cari minuman hangat dulu." Bisiknya ditelingaku, menggoda. "Yang jemput kita masih dalam perjalanan." Lanjutnya lagi.
Aku hanya tersenyum mengikutinya. Bukan mengikutinya dengan sukarela, karena Rangga merengkuh bahuku, dan menariknya masuk kesebuah coffe shop. Setelah mendudukanku disebuah sofa hangat, Rangga menuju arah counter dan memesan makanan dan minuman.
"Minum sayang." Rangga menyodorkan segelas coklat panas kesukaanku, "dan dimakan kuenya, kita belum sarapan karena perjalanan kita terlalu pagi, cuacanya terlalu dingin, aku tidak mau kamu terserang batuk, dan pilek, juga masuk angin." Jelasnya padaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Right Mistake
عاطفيةRangga keterlaluan, membawaku melintasi belahan dunia hanya untuk menjadi ibu anaknya, yang akan lahir dari wanita lain. -Lana- Melihat wajah terluka milik Lana karena perbuatanku, membuat rasa bersalahku semakin menumpuk berkali lipat. Aku s...