Part 7

4.9K 298 1
                                    

Lana

Akhirnya hari yang ditunggu datang juga, dengan diantar rombongan terdiri dari mama dan papa juga beberapa orang kepercayaan Rangga, kami akhirnya berangkat juga menuju Bandara, dan pesawat akan membawa kami menuju Benua Amerika. Untuk melanjutkan kehidupan kami disana, walaupun kecurigaanku masih tetap kadang bermain didalam hatiku, seolah mempermainkanku.

Mama melepaskanku dengan tangisan, mama memang paling tidak bisa hidup jauh denganku, mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya, walaupun aku tidak lahir dari rahimnya, tapi rasa sayangnya mama padaku, semua orang bisa melihatnya.

Sambil mengusap air mata yang menetes, aku menuju gerbang keberangkatan. Dua tahun waktu yang lumayan lama, yang akan aku habiskan di tempat asing, tanpa teman, tanpa saudara, dan tanpa orang-orang yang aku kenal, hanya ada aku dan Rangga.

Saat pesawat kami siap lepas landas, Rangga memegang tanganku, dan bertanya padaku, "kamu baik-baik saja sayang?" tanyanya memastikan.

Aku menggelengkan kepalaku. Biasanya aku cukup berani melakukan penerbangan sendirian, selama tidak ada turbulence. Dan saat ini aku sangat khawatir, karena aku tidak sempat melihat informasi apapun tentang cuaca.

Pesawat transit di Singapura, dan baru melanjutkan penerbangan menuju Hongkong jam 2 siang, dan dari Hongkong kami harus menunggu sampai malam, karena penerbangan selanjutnya menuju Los Angeles dilakukan menggunakan pesawat malam.

Selama perjalanan Rangga, selalu baik padaku dan memastikan semua kebutuhanku terpenuhi, mulai dari selimut hangat karena AC di stel dengan suhu lumayan dingin, makananku juga minumanku, campuran lemon dan madu disegelas air hangat, ia pastikan selalu ada didepanku.

Beberapa jam kemudian, pesawat yang kami tumpangi mendarat dengan selamat di LAX Los Angeles. Dan setelah menunggu sekitar 30 menit pesawat yang membawa kami menuju Berkeley, jarak tempuh sepanjang rute Los Angeles menuju San Francisco kurang lebih 614 km, dengan perkiraan waktu perjalanan 5 jam perjalanan menggunakan kendaraan darat. Tapi Rangga membawaku menggunakan udara, karena perjalanan panjang yang telah kami lewati dari Indonesia menuju Amerika.

Di San Francisco International Airport, setelah melewati gerbang imigrasi yang lumayan lama, akhirnya kami berjalan beriringan menuju tempat pengambilan bagasi, sambil Rangga menunggu bagasi, aku sempatkan masuk ke toilet untuk mencuci muka, dan membuang rasa gerah karena keringat tidak keluar. Saat aku keluar dari toilet, Rangga menghampiriku, dengan segelas coklat panas, dan mengangsurkannya padaku.

Lumayan lama, menunggu bagasi kami sampai, dan aku masih sempat keliling-keliling melihat-lihat, sampai akhirnya Rangga menghampiriku, dengan 2 koper besar milikku, dan satu koper kecil miliknya, saat aku berniat mengambil koper besar milikku, Rangga menyerahkan koper kecilnya untuk aku bawa menuju keluar dari bandara yang ramai.

Ada sedikit sendu saat melihat matahari yang baru terbit dari timur, dan udara yang sangat dingin di bulan September ini, awal musim gugur, tapi udara sudah terasa sangat dingin. Aku menghela napas, dan mencoba menikmati saat-saat ini.

Rangga sedang memperhatikanku, dan membuatku risi.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanyaku padanya.

"Tidak apa-apa sayang, aku hanya khawatir melihatmu yang begitu pucat," jawabnya memandangi aku, sebelum ia merengkuh tubuhku kepelukannya.

Saat kami sampai hari masih pagi, dan karena kami sampai pada hari libur di Amerika, jalanan sedikit sepi dari biasanya, maka kami tidak menemukan hambatan apapun menuju apartemen yang Rangga tempati.

Tiba di apartemen yang Rangga tempati waktu menunjukan sekitar pukul 9 pagi. Sebuah apartemen dua kamar yang lumayan luas untuk seorang laki-laki yang selama dua tahun tinggal sendirian. Ya dari pengakuannya Rangga hanya tinggal sendirian, padahal menurut pengalamanku yang pernah selama satu tahun tinggal di DC, saat pertukaran pelajar saat senior high school atau SMA, biaya sewa apartemen akan terasa sangat mahal bila dilakukan sendirian, beda bila kita berbagi dengan teman. Ya lagi-lagi karena keluarga Rangga memiliki kelebihan materi, berbeda dengan keluargaku.

Apartemen yang Rangga tempati di desain sangat laki-laki. Segalanya terlihat serba maskulin. Sofa yang berwarna hitam, stereo set yang juga berwarna hitam, dapur yang berwarna putih, juga lantai marmer berwarna putih. Tapi yang mengagumkan semuanya serba rapih, teratur, dan terurus.

"Maaf berantakan sayang, aku lupa meminta petugas kebersihan, untuk membersihkan apartemennya saat aku pulang ke Indonesia," jelasnya kembali seperti merasa bersalah. Dan berusaha merapikan tempat itu.

"Tidak apa-apa Ga, nanti saja setelah kita istirahat kita bereskan, sekarang kita istirahat dulu, capek banget." Ujarku merasa kasihan melihat Rangga memunguti tisu yang berantakan, dan botol minuman, sebelum melemparkannya ke tempat sampah.

Mendengar suaraku, Rangga menatap wajahku. Tersenyum menghampiriku, "maafkan aku sayang," ia mengamit tanganku membimbing menuju sebuah pintu. "Kita tidur disini saja," katanya setelah membuka pintu kamar, "ini kamarku, tapi seprainya harus di ganti dulu, karena ditinggal selama satu bulan," jelasnya sambil menaruh koperku tak jauh dari lemari pakaian super besar, dan berjalan keluar dari kamar meninggalkanku.

Sebuah kamar yang sangat luas, dilengkapi oleh sebuah tempat tidur ukuran king size, sebuah sofa di bawah jendela samping pintu kaca menuju balkon, dan sebuah pintu menuju kamar mandi dan ruang ganti pakaian.

Rangga kembali membawa setumpuk seprai dan selimut, dan sesegera mungkin menggantinya. "Sayang disini tidak ada guling ya sayang? Kalau ada kan kita bisa rebutan seperti biasa." Candanya menggodaku.

Aku hanya tertawa kecil, dan setelah selesai memasang seprai, Rangga menatapku lembut, "mau mandi air panas dulu, atau langsung tidur?" tanyanya setelah melihatku yang berjalan sempoyongan seperti orang mabuk.

"Mandi dulu please.."

Rangga menggapai tubuhku dan membawa ke sebuah pintu penghubung yang didalamnya terdapat kamar mandi. Aku membuka pakaianku, saat Rangga mengatur suhu untuk air panas yang memancar dari empat penjuru bilik shower. Memindahkanku ke bilik shower, dan memandikanku, setelah selesai ia mematikan air, membungkus tubuhku dengan handuk kering, mengangkatku ke kamar tidur, memakaikan pakaian tidurku dan setelah selesai ia lagi-lagi mengangkatku ke atas tempat tidur, menyelimutiku, setelah mencium keningku mesra, ia berbisik, "sekarang giliran aku yang mandi." Bisiknya.

Dan aku tak sempat membuka mata lagi, karena langsung tertidur pulas.

Publis pertama, Serang, 26 Maret 2017

The Right MistakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang