"Besok-besok nggak usah jatuh cinta lagi ah! Ribet!"
Hampir satu jam lebih Verra bertingkah seperti orang linglung, sesekali dia berjalan bulak-balik sambil menggenggam handphonenya cemas, sesekali dia duduk dengan kakinya yang terus bergerak tidak bisa diam, atau sesekali dia menelungkupkan badannya di atas kasur. Verra tengah menimbang-nimbang keputusannya sendiri, dia terlalu bingung untuk melanjutkan ide konyolnya atau tidak, tapi dia perlu mengakuinya, namun sejujurnya dia juga takut atas apa yang akan dia lakukan setelahnya.
Verra berpikir dia tidak bisa menahannya terlalu larut sendirian. Dia sudah cukup merasa lelah menyukai, bahkan harus menyayangi seseorang diam-diam seperti ini. Sudah hampir satu bulan setelah dia sadar dengan perasaannya sendiri pada Verrel, namun sampai sekarang tidak ada pergerakan apapun, Verra tidak mengharapkan banyak hal karena soal perasaannya memang hanya dirinya yang tahu, sedangkan orang yang bersangkutan tidak tahu menahu, sekalipun ingin mengharapkan ya apa juga yang harus dia harapkan? Pikirnya.
Rasanya sudah cukup dia hanya bisa melihat Verrel dari jauh, sudah cukup dia mengharapkan sebuah pertemuan yang tidak disengaja agar sekedar bisa melihat senyumnya. Dia sudah cukup menyita banyak waktu dan perhatian Verra, perasaanya sudah terlampau jauh memenuhi isi kepala dan mengalihkan fokusnya. Dan yang lebih parahnya lagi dia sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa, atas semua yang telah mengganggu ketenangannya, sampai dia merasa ini sangat tidak adil untuknya, karena hanya Verra yang terus terganggu sedangkan Verrel sama sekali tidak tahu.
Verra sebetulnya tidak suka menebak-nebak bagaimana perasaan seseorang terhadapnya, dibilang Verrel cuek tidak juga, karena dia terus menanyai Verra pada Nabila, tapi memang tidak ada pergerakan saja dari keduanya. Setelah banyak berpikir, Verra berniat merealisasikan ide konyolnya untuk mengakui perasaannya terhadap Verrel, karena nalurinya perasaan itu bukan untuk ditebak melainkan untuk diterus terangkan, begitu kata Verra.
Verra membuka grup line angkatannya, dengan perasaan campur aduk tidak bisa dijelaskan. Tangannya sibuk mengulir daftar anggota yang masuk di dalam grup angkatan itu, matanya juga ikut sibuk membaca setiap nama yang tertera, tentu saja dia sedang sibuk mencari nama Verrel Riezky.
"Ah gila! Masa gue ngehubungin dia duluan?" gumam Verra saat sadar dengan apa yang sedang dia lakukan. Tapi dia tetap melakukannya, tangannya berhenti mengulir daftar anggota di grup angkatan, saat matanya menangkap nama Verrel Riezky tertera jelas di sana.
Verra merebahkan tubuhnya di atas kasur, lalu dia memejamkan matanya sejenak mencoba mengumpulkan keberanian untuk langkah yang akan dia ambil selanjutnya. "Lanjut nggak, ya?"
"Ah nggak akan kelar kalo gue mikir terus! Tahun terakhir ini, dikit lagi lulus. Kalo dia nggak suka sama perasaan gue yaudah lupain! Toh yang bakal tau masalah ini cuma gue sama dia nanti di sekolah." Verra terus meyakinkan dirinya sendiri. Dengan perlahan tapi pasti dia membuka matanya kembali, lalu mengangkat handphone tepat di hadapannya, masih dengan posisi yang sama, tiduran.
"Bismillah." setelah mengucapkan hal itu dia lalu menekan tanda 'tambahkan sebagai kontak' dari profil line milik Verrel. Setelah itu dia malah jadi kelimpungan sendiri, bingung bagaimana harus memulainya.
Matanya kembali terpejam, handphonenya sengaja dia jauhkan, karena dia jadi takut sendiri sekaligus deg-degan.
"Ah mampus! Mana udah di add lagi! Gimana dong iniiiiiiii?" Dengan sedikit frustasi Verra menelungkupkan kepalanya di atas bantal.
"Dodol banget sih Verra! Malu 'kan udah di add! Dia pasti bingung nih sekarang kenapa tiba-tiba gue nge-add!" Verra tambah frustasi saat ada satu pesan line masuk ke dalam notifikasinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Verrarell
Ficção Adolescente[Sedang diperbaiki] Bagi Verra memendam perasaan terhadap seseorang itu sebuah kekeliruan, karena sejatinya perasaan memang untuk diutarakan. Kalau hanya dipendam tanpa yang bersangkutan tahu, apa dengan menerka-nerka sudah cukup menenangkan? Atau a...