Sudah hampir seminggu ada yang tidak beres dengan otak serta hati Verra, dia tidak ingin memikirkannya, tapi Verrel selalu saja muncul tiap kali diberi kesempatan dalam pikirannya. Verra sebetulnya tidak ingin memiliki perasaan aneh ini, tapi sayangnya perasaan itu sudah terlanjur ada.
Entah sejak kapan perasaan itu ada, benar tentang ucapan Salma pada film Dear Nathan yang mengatakan 'Sebuah perasaan kaku yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu' Verra benar-benar merasakannya, tentu karena ikut campur tangan Amanda dan Nabila, mereka yang membuat Verra menjadi berharap seperti ini, mereka yang membuat Verra sadar dengan perasaannya sendiri.
Tidak pernah terlintas sedikitpun di dalam pikirannya, dia akan jatuh cinta dengan laki-laki bernama Verrel Riezky, laki-laki yang selalu bersikap santai setiap kali mengambil langkah, laki-laki yang selalu melakukan hal semaunya tanpa berpikir panjang, benar-benar berbanding terbalik dengan dirinya. Bahkan sampai saat dia menyadari perasaanya dia sendiri juga tidak mengerti kenapa bisa semudah ini, pikirannya selalu tertuju pada harapan apa yang sebetulnya sedang dia ciptkan, entah Verrel bermaksud begitu atau hanya Verra yang berlebihan.
"Ver? Lo kenapa, sih?" tanya Amanda, mereka sedang di kantin dan dari tadi Amanda terus bercerita tentang Genta, tapi Verra tidak benar-benar mendengarkannya, bukan karena enggan mendengarkan hanya saja dia tidak bisa fokus dengan apa yang tengah dibicarakan Amanda, pikirannya benar-benar melayang entah memikirkan apa.
"Lo sakit?" Tanyanya Amanda lagi, dia lalu memegang kening Verra dengan punggung tangannya untuk memastikan.
Verra menggeleng lalu menjawab, "Lagi nggak mood aja," jawabnya dengan suara serak.
"Badan lo rada panas, suara lo juga serak gitu. Yakin lo nggak apa-apa?" Amanda tampak khawatir, dia terus meneliti raut wajah Verra takut temannya sakit.
"Gue nggapapa," ujar Verra masih dengan suara seraknya.
"Tenggorokan lo sakit?" Dan ya ini adalah sisi lain dari seorang Amanda Maharani, dia akan mendadak menjadi seperti Bunda saat Verra tidak enak badan.
"Nggak, Man."
"Jangan minum es!" Amanda mengambil alih es jeruk yang tadi sudah sempat Verra minum, "Gue pesenin yang hangat dulu!" kemudian dia bangun dari duduknya dan berjalan menuju penjual minuman di kantin sekolah mereka dan memesankan minuman hangat untuk Verra.
Sebenarnya Verra merasa cukup baik-baik saja, hanya kepalanya saja yang memang rada berat dan pusing sedikit, Verra pikir mungkin karena dia kurang tidur makanya jadi seperti ini, mengingat semalam dia memang tidur cukup larut. Karena belakangan ini Verra jadi susah tidur karena sibuk memikirkan perasaannya sendiri, dia merasa ada yang terus mengganjal pikirannya.
"Ini minum!" Amanda kembali dengan segelas minuman berisi air jeruk hangat, dia memberikannya pada Verra, "Kepala lo pusing ya?" tanyanya lagi memastikan, dan kali ini Verra mengangguk mengiyakan, karena sepertinya dia memang butuh istirahat.
"Tuh 'kan lo tuh sakit, kenapa sih? Ada masalah?"
"Nggapapa," elaknya, dia tidak ingin mengakui perasaannya terhadap Verrel pada Amanda, karena dia tau Amanda pasti akan menyudutinya karena hal itu, mulai dari bertanya banyak hal sampai heboh sendiri.
"Serius? Kenapa? Gara-gara siapa? Cerita" tanya Amanda masih penasaran dengan apa yang terjadi pada temannya itu, karena baru kali ini dia melihat Verra selesu ini, padahal biasanya sekalipun dia lagi sibuk di osis dan banyak tugas Verra masih bisa bertahan dengan baik.
Verra hanya diam, mulai malas menanggapi ucapan Amanda. Jika ditelaah dengan baik, ini semua awalnya ya karena Amanda, kalau saja dia tidak banyak membicarakan tentang Verrel mungkin sekarang Verra tidak akan mempunyai perasaan seperti ini pada laki-laki itu. Kalau saja Amanda tidak mengumbar kemungkinan-kemungkinan bagaimana perasaan Verrel kepadanya mungkin Verra akan masa bodo dengan laki-laki itu dan tidak memikirkannya seperti sekarang, tambah pusing Verra memikirkannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Verrarell
Teen Fiction[Sedang diperbaiki] Bagi Verra memendam perasaan terhadap seseorang itu sebuah kekeliruan, karena sejatinya perasaan memang untuk diutarakan. Kalau hanya dipendam tanpa yang bersangkutan tahu, apa dengan menerka-nerka sudah cukup menenangkan? Atau a...