Kami berdua sudah berada di depan pintu rumah nenekku, dan seperti biasa aku yang gugup, sedangkan Verrel biasa saja. Padahal disini yang notabenenya akan bertemu dengan keluargaku ya Verrel, tapi dari gelagatnya sama sekali tidak menunjukkan kalau dia gugup. Malah aku sendiri yang degdegan, parah 'kan?
Sebelum aku mengetuk pintu Verrel bersuara. "Gue langsung dikasih kesempatan buat ketemu adik lo, padahal baru tadi minta," ujarnya dengan kekehan. Ah iya benar juga ucapannya. Berarti habis ini aku belum tentu bisa sedekat ini lagi dengan Verrel dong? Hmm.
Aku menghela napas berat. "Iyaa, ya?" Responku, selanjutnya aku mengetuk pintu dan mengucap salam. "Assalamualaikum." Verrel berdiri tepat di sampingku, dia menatap mantap ke arah pintu yang masih tertutup di hadapan kami, yang jelas sikap santainya itu malah tambah membuatku degdegan. Verrel kenapa santai bangeeeeeet?
"Waalaikumsalam! Kakak!" Teriak adik perempuanku, dia yang lebih dulu muncul di hadapan kami berdua.
"Waalaikumsalam, masuk dulu neng!" Dan itu suara nenekku dengan logat khas betawinya. Iya, aku orang Betawi asli, dan jangan heran jika nanti nenekku berbicara dengan bahasa nyablaknya.
Sekarang belum, lihat saja nanti.
Saat nenek mempersilahkan aku untuk masuk, dia bersikap seperti biasanya saat aku datang untuk menjemput adikku. Sepertinya dia belum sadar dengan keberadaan Verrel di sini. Bagus deh, sekalian nggak sadar terus juga nggapapa, Nek!
"Kaa? Itu siapa?" Tanya adikku begitu melihat orang asing di sampingku, dia menunjuk-nunjuk Verrel, aku refleks menatap ke arahnya. Verrel tertawa karena pertanyaan adikku. Malah adikku yang lebih dulu sadar dengan keberadaan Verrel.
"Eh ada tamunya?" Ujar Nenekku, dia tersenyum sumringah entah karena apa. "Masuk dulu marih! Biar nanti nenek bikinin minum." Nah mulai 'kan betawinya keluar. Yah ini sih alamat aku akan lama di sini, nenek pasti tidak akan membiarkan kami langsung pulang, dia pasti akan menahan kami, untuk berlama-lama di sini dulu.
Selanjutnya aku mempersilahkan Verrel untuk berjalan lebih dulu menuju ruang tamu, dia menurut saja dengan gaya santainya. Sedangkan nenekku, dia malah langsung bergegas ke dapur.
"Tanya sendiri dong siapa namanya," ujarku, adik perempuanku langsung beralih menghadap Verrel.
Dan dengan polosnya dia memperkenalkan diri pada Verrel. "Hallo! Nama aku Ziya, Abang siapa namanya?" Nah ini adikku, namanya Ziya. Dia memang tidak pernah malu-malu dengan orang yang baru dikenalnya, meskipun dia masih berumur enam tahun. Entah dia mengikuti siapa jadi percaya diri begitu.
Verrel terkekeh menanggapi kepolosan adikku. "Tanya kakaknya coba siapa namanya." Bukannya menjawab, Verrel malah beralih menatapku, yeh sok misterius sekali dia.
Ziya juga ikut menatapku dengan tatapan ingin tahunya alias kelewat penasaran. "Namanya Abang Verrel, " jawabku tanpa berpikir aku langsung menyebutkan nama Verrel, untuk memberi tahu Ziya.
Di detik berikutnya tidak disangka-sangka Verrel malah tertawa mendengar ucapanku. Eh? Kenapa? Ada yang salah, ya? Aku salah bicara atau bagaimana? Perasaan nggak deh? Oh! Astagfirullah! Aku tahu kenapa Verrel malah tertawa, pasti karena panggilan ku barusan.
Sumpah aku hanya ingin bersikap sopan di depan Ziya, bukan maksud memanggilnya dengan sebutan 'Abang' tadi. Ih aku saja rada geli mendengarnya, mana mungkin aku sengaja memanggilnya begitu 'kan? Atau Verrel tadi memang sengaja meminta aku yang memberi tahu namanya siapa, agar aku memanggilnya dengan sebutan itu? Kalau sampai dugaanku benar, sumpah Verrel ngeselin pakai banget!
"Oh abang Verrel! Namanya sama kayak kakak aku?" Tanya Ziya polos, untung saja dia tidak mengerti kenapa Verrel malah tertawa. Yaiyalah, Ver! Orang Ziya masih TK gini mana ngerti sama yang begituan. Tapi untuk ukuran anak seumurannya Ziya ini kelewat pintar, rasa ingin tahunya sangat besar. Makanya dia cerewet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Verrarell
Teen Fiction[Sedang diperbaiki] Bagi Verra memendam perasaan terhadap seseorang itu sebuah kekeliruan, karena sejatinya perasaan memang untuk diutarakan. Kalau hanya dipendam tanpa yang bersangkutan tahu, apa dengan menerka-nerka sudah cukup menenangkan? Atau a...