Milk 2

36 3 0
                                    

"Aku tidak peduli seberapa kesalnya aku terhadap orangtuaku,"

Sebuah kolam ikan kecil di dalam rumah Daviel. Kolam ini sudah ada sejak ia tinggal di rumah ini. Jadi rumah yang mewah minimalis ini punya orangtuanya, hanya saja diberikan untuk Daviel tinggal.

"Kenapa?" Tracy duduk diseberang meja kecil yang menyediakan aneka camilan, dan teh yang dibuat Daviel.
Daviel memandang balik Tracy. "Kau ikut jamuan makan malam kemarin bukan?"
"Ehm," Tracy mendeham.
"Ya itu aku benci dengan orangtuaku saat itu." gerutu Daviel.
Tracy menjawab gerutuan Daviel dengan bijak. "Jangan membenci orangtuamu Daviel. Dosa!"
"Aku selalu berpikir itu. Aku bukanlah anak durhaka." Daviel memandang kolam ikan.
"Seorang anak sudah seharusnya menuruti kemauan orangtua." Tracy menambahkan. "Lalu, terkait ucapanmu tadi, kau tidak mencintai Elicya?"
Daviel menggeleng. "Tidak, sama sekali tidak. Aku dengan dia hanyalah seorang sahabat yang terlihat terlalu dekat, tapi pada dasarnya tidak ada hubungan menjadi sepasang kekasih,"
"Aku pun tahu kau juga sebenarnya tidak mencintai adikku sama sekali, sejak saat bertemu di restoran Wiggie Thompson di Downtown. Adikku sudah menjawab keras kalau tidak mencintaimu,"
"Aku juga tidak mencintainya,"
"Tapi kenapa diterima?"

Daviel menelan ludah. "Aku bukan pemuda bodoh Tracy."
"Pemuda bodoh?" Tracy memandang serius Daviel, dengan wajah sedikit heran.
"Kau bisa pikir pakai logikamu? Kalau kau tahu orangtuaku seperti itu, keras kepala dan galak, sifatnya selalu memaksa, lalu apa yang harus kulakukan?"
Tracy melepas pandangannya pada Daviel dan mengerutkan dahinya. Ia tahu memang orangtua Daviel sangat galak. Saat ia kecil saja ia pernah dimarahi, dan pernah melihat Elicya pulang naik sepeda menangis. Sesaat dirumah, alasan menangisnya hanya karena dimarahi orangtua Daviel.

"Kalau ia terus memaksa, jika kau menolaknya, mereka akan terus berusaha dan memaksamu untuk mencintai Elicya." Tracy bergumam, mendapat logikanya.
"Kalaupun aku menerimanya, pada suatu saat kumenyebutnya waktu yang tepat untuk dikatakan putus hubungan kekasih dengan Elicya, mereka tidak akan berkata cocok lagi bukan?" Daviel menambahkan.

Tracy tersenyum kecil. "Pintar juga caramu. Setidaknya aku bisa berpikir jernih di sini." Ia lalu memandang sekitarnya. "Oh ya, orangtuamu tidak disini kan?"
"Tidak." Daviel menggeleng. "Mereka sudah pulang tadi pagi."
Tracy melemaskan bahunya. Ia masih waspada dalam berbicara dengan peternak diseberangnya, apalagi mengenai 'logika persetujuan cinta'.
"Tetapi bukannya kau bisa membicarakan baik-baik kepada orangtuamu kalau kau tidak mencintai Elicya?" Tracy melanjutkan pembicaraan.
Daviel menarik nafas pendek. "Mereka enam jam perjalanan ke Orlando, berkunjung beberapa minggu sekali. Mereka untuk menjodohkanku juga susah, hanya Elicya yang paling dekat. Kalaupun beralasan, tidak ada alasan yang kuat lagi. Mau aku tidak mencintai Elicya, mereka juga tidak peduli." Ia meraih toples kue kering di meja. "Yang penting anaknya sudah berjodoh saja. Itu yang ada di pikiran mereka."

"Tambah lagi mereka keras kepala." Ia turut mengambil toples kue, meski tidak sama dengan Daviel. "Aku bersyukur orangtuaku Annie Taylor bukanlah seorang yang kejam,"
"Aku juga suka punya orangtua seperti dia. Tapi ini takdir dari Tuhan, ya aku tidak bisa mengelak." Daviel mencelupkan kue kering ke tehnya. "Ayo diminum, buat apa kumenyediakannya disini?"

Tracy tersenyum. Ia lalu menyesap teh tanpa banyak bicara lagi. Manis, hangat, dan cukup terasa di mulut.

"Tapi boleh kubertanya sedikit kepadamu Tracy?"
Tracy hanya menggerakkan matanya ke Daviel, sementara mulutnya masih menempel pada bibir gelas.
"Aku ingin bertanya mengapa dirimu jika berkata itu justru setuju kalau kuberhubungan sebagai seorang kekasih dengan Elicya."
Tracy menelan sedikit tehnya dengan terpaksa. Ia lalu meletakkan cangkir teh itu kembali ke meja. "Aku punya alasan lain untuk itu,"
"Alasan lain?" Daviel mengulangi pertanyaan Tracy.
"Ya.. ya... m" kata-kata Tracy tertahan karena sambil berpikir. "Aku tentu tidak mau mengecewakan orangtuaku dan orangtuamu, Daviel,"
Daviel menutup toples kue yang ia ambil. "Kau bukannya hanya menentukan? Resiko hanya ditanganku dan ditangan Elicya,"

Tracy diam. Rasa sukanya tidak mungkin diungkapkan sekarang. Adiknya sudah menjalin resmi hubungan sebagai seorang kekasih, meski mereka tidak peduli dengan status itu.
"Aku bingung ambil keputusan." jawabnya kehabisan kata-kata untuk menjelaskan.
"Oh tidak masalah."
Tracy memperbaiki posisi duduknya. "Oke, giliran aku bertanya padamu."
Daviel mengangkat alisnya, memandang Tracy dengan bibir kembali menempel pada cangkir teh.
"Aku ingin mempertanyakan apa kau menelponnya semalam,"

"Ya, aku menelponnya. Dan ia berteriak kencang di telingaku,"
Gadis 'kembaran' Elicya itu mengangguk kecil. "Aku mendengar Elicya berteriak 'membencimu' dan melarangmu untuk menelponnya lagi. Sebenarnya apa yang terjadi? Sikapnya dari kemarin kulihat pula ia selalu ingin menangis,"

Daviel tertunduk dan mengambil nafas, untuk menceritakan kejadian kemarin yang membuat persahabatan mereka kandas, sampai salah satunya membenci.
"Dia menamparku sesaat izin turun tangga,"

"Hah?" Tracy heran Daviel berbicara seperti itu. "Ditampar? Kau berbuat salah besar dengan dirinya?" ucapnya agak mengancam dan muncul kemarahan kecil.

Daviel ketakutan melihat Tracy berbicara seperti mengancam. "Tidak-tidak. Jangan mengancamku dahulu. Ini salah paham,"
"Lalu, mengapa adikku bisa berbuat sangat kasar seperti itu?"
Daviel menenangkan dirinya. "Ini terkait kumenerima persetujuan orangtuaku mengenai perjodohan. Ia tidak terima itu. Lalu rencana yang kubicarakan ia tak acuh untuk mendengarkannya,"

Tracy diam lagi. Jadi yang membuat Elicya menangis semalam itu Daviel? Dan yang selalu membuat ponsel Elicya berdering begitu kencang Daviel pula?
"Jadi karena aku menerima persetujuan orangtuaku dan orangtuamu , meskipun tidak saling mencintai, ia menamparku. Aku menelponnya semalam berkali-kali sampai membuatnya kesal dan menangis." Daviel mengurutkan kejadian-kejadian yang terjadi sejak pertemuan kedua orangtua mereka. "Dan satu lagi, ia tidak mau mendengar penjelasan mengenai rencanaku,"

"Aku mengerti. Aku mengerti maksud kejadian ini. Gadis itu kalau sudah emosi sudah pasti mengabaikan apapun yang dibicarakan."

Daviel memejamkan matanya. "Kuharap kau bisa membicarakan ini baik-baik kepada Elicya. Aku ingin kembali bersahabat padanya lagi," Ia lalu memandang Tracy dengan wajah sangat serius. "Bisa?"
Tracy mengangkat bahunya. "Belum tentu ia mau mendengarnya atau tidak,"
"Oh," Daviel mengerjap. "Kuharap ia mau mendengarnya." Ia menunduk lalu memandang ke kolam ikan. "Enam belas tahun bersamanya bukan waktu yang sebentar, menjalin hubungan sampai sedekat itu,"

Tracy hanya mengangguk-angguk. "Akan kuusahakan." Ia lalu bangkit. "Daviel, kurasa aku tidak bisa berlama-lama disini. Ibuku pasti menunggu terlalu lama karena mengobrol denganmu,"

Daviel turut berdiri. "Oke. Aku juga tidak mau Nyonya Annie berdiri di depan gedung panti asuhan itu menungguimu,"

Tracy tersenyum. "Tidak mungkin Daviel. Ia sudah pasti mengajak bermain anak-anak panti itu."
"Aku harap juga begitu, daripada berpanas-panasan diluar," Daviel mengangkat pundaknya. "Mari kuantar ke tempat dimana susu perahan kurcaci-kurcaci kecil disimpan,"

Mereka lalu melangkah menuju gudang panen yang tak jauh dari situ.

"Jikalau ada perkembangan, mungkin aku bisa mengunjungimu nanti Daviel,"

Approval Of Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang