Lunch

21 3 0
                                    


  "Aku terlalu bosan mendengar Campbellton. Nama tempat yang selalu setiap hari kudatangi, seperti sekolah. Dan sekolah adalah yang paling kubenci."

  Elicya cengar-cengir mendengar gurauan Daviel, meskipun terkesan tidak lucu.

  "Kuharap ada yang mencabut pelang petunjuknya."

  "Kau tidak akan bisa kerumahku jika pelang itu dicabut Daviel,"
  "Aku tidak peduli. Aku sudah mengenal semua rumah-rumah disekitarmu, termasuk tetanggamu, orang Jerman itu,"

  Elicya tertawa. "Mudah. Aku suruh mereka menggusur rumahnya, lalu membentuk yang baru."

  "Aku juga tidak sebodoh itu. Aku masih mengenal dari pohon yang tumbuh sampai bentuk aspalnya," celoteh Daviel sambil menaikkan gigi kecepatan mobil.

  "Aku tinggal meminta pemerintah mengaspal jalan itu dan, menebang pohon itu,"

  "Aku punya Google Maps," pandang Daviel tersenyum licik.

  "Aku beli perusahaannya,"

  Daviel masih tersenyum licik dan meremehkan Elicya. "Tidak semuda itu. Kau hanya penulis biasa, apa bisa membelinya?"

  "Suatu hari nanti, jika Tuhan punya kehendak, aku bisa menjadi bos yang lebih besar pada perusahaan, melebihi Google,"

  "Terserahlah. Aku menyerah,"

  Elicya tertawa lagi. "Lalu kau yang memulainya bukan?"

  "Yaa...ya... aku tahu aku yang memulai debat tidak jelas ini."

  Elicya menarik nafas. Ia berusaha untuk tidak tertawa lagi. Sudah terlalu puas mendengar ocehan sahabatnya itu.

  "Oke. Tapi aku ingin bercerita sedikit mengenai kakakku."

  Daviel tidak menjawab dan sibuk mengemudi.

  "Kakakku tidak punya pacar."

  "Aku sudah tahu." jawab Daviel datar.

  "Aku ingin ia punya pacar. Aku tidak mau aku yang lebih dahulu mempunyai pacar."

  Daviel membelokkan stirnya ke jalan lain. "Kodratnya memang seperti itu. Tapi aku selalu heran mengapa kakakmu yang cantik, dan kurasa, lebih cantik dia daripada adiknya, belum menemukan jodoh."

  Elicya mengangkat pundaknya. "Aku turut tidak tahu. Aku juga bingung apa pekerjaan dikantornya tidak menjamin ada seseorang yang mendekat pada dirinya,"

  "Atau kurasa ia tidak punya pilihan untuk memilih seseorang yang tepat."

  "Mungkin saja. Atau mungkin semuanya yang ada disitu sudah menikah?"

  "Aku rasa juga begitu."

  Elicya menunduk lalu menatap Daviel. "Tapi kalau menurutku, kau mau jadi pacarnya?"

  "Pacarnya?" tatap Daviel sekilas pada Elicya. "Ayolah, masa iya aku berpacaran dengan kakakmu?"

  "Ya ini opiniku saja."

Approval Of Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang