Comeback ~ Climaks

30 3 0
                                    

"Aku tidak percaya, malam ini hujan deras."

  Elicya duduk disebuah halte bus kecil. Sendiri tanpa siapapun. Hanya redup lampu kecil halte yang menerangi. Sekelilingnya hanya kegelapan, ataupun tanah kosong. Menyeramkan, seperti di novel horror.

  "Aku juga salah berpakaian. Seharusnya yang kukenakan adalah dress berlengan panjang. Oh astaga, malam ini hujan dan sangat dingin,"

  Elicya meringkup. Ia melipat lengannya erat-erat, menutupi lengannya yang terbuka, dengan minidress yang sama dikenakan kakaknya minggu lalu. Ibunya membelikan sepasang pada dirinya dan kakaknya untuk pakaian ini.

  "Kuharap aku selamat malam ini." gumam Elicya gemetar, sambil menatap sekitarnya.

  Sebuah mobil datang. Kuharap bukan penculik, gang, atau sebagainya. Mobil itu kian mendekat, kian mendekat dengan halte. Oh Tuhan, selamatkanku...

  Tapi aku seperti mengenalnya...


  "Elicya, kau sendirian?" teriak Daviel dari dalam mobilnya.
  "Ya. Aku sendiri. Aku menunggu taksi." jawab Elicya lirih.
  Daviel menatap sekelilingnya. "Tidak mungkin ada taksi di jalan sepi ini Ely. Naik saja mobilku, lalu kuantar pulang kerumahmu,"

  "Tidak."

  Daviel mengambil payung lalu keluar dari mobilnya. Ia lalu melangkah menuju halte tempat Elicya duduk kedinginan menunggu taksi lewat.

  "Aku tidak yakin dengan dirimu. Tempat ini rawan kriminal. Kau hanya seorang gadis cantik, sendiri, dan aku tidak mau mereka justru berbuat jahat dengan dirimu,"

  Elicya berdiri dari tempat ia duduk. "Oke aku menerimanya."

  Elicya lalu masuk ke dalam mobil Daviel, dengan Daviel memayunginya. Daviel lalu melangkah masuk ke dalam mobilnya.

  "Kau tidak mungkin dapat taksi disini. Kau mendapatnya di jalan besar sana," ucap Daviel selepas masuk mobil.

  "Aku tahu. Aku berniat kesana. Tapi hujan keburu turun saat aku dekat halte."

  Daviel mulai menjalankan mobilnya. Hujan kian deras turun, sampai wiper harus bekerja keras mengusir butiran air dari kaca mobil.

                                   ******

  Beberapa menit mereka membungkam, sampai Daviel mulai kembali berbicara.

  "Aku juga ingin melanjutkan kata-kataku tadi."

  Elicya membuang muka ke jendela. "Apalagi? Kau puas orang lain menyebut kita berpacaran?"

  "Tidak sama sekali. Aku ingin berbicara rencana yang ingin kusampaikan kepadamu, tapi tidak pernah didengar."

  "Paling kau memintaku untuk menikah denganmu," jawab Elicya berseloroh.

  Daviel menarik nafas. "Terserah dirimu kau mau mendengar atau tidak. Aku sudah beberapa kali bilang kepadamu." Ia lalu meningkatkan kecepatan mobil.

  "Aku ingin kita berpura-pura berpacaran di depan orangtua kita. Lalu setelah beberapa lama, kita putus, dan orangtua kita pasti menganggap kalau kita itu tidak cocok." Daviel berceloteh.

  "Dan orangtua kita merasa, ternyata benar, kita hanya bersahabat, bukan saling mencintai. Arti putus itu berarti kita tidak pernah cocok." lanjut Daviel.

  Elicya masih tidak melepas pandangannya pada jendela, tapi ia turut mendengar dan mencerna apa yang diucapkan Daviel.

  Ini maksud Daviel? Oh sial. Hanya sepele begitu saja? Aku bodoh!

  "Ini rencana yang kumaksud Ely. Aku juga ingin kita bersahabat saja, bukan berpacaran," Daviel kembali berceloteh.

  Elicya lalu menatap Daviel. "Kurasa kau ada benarnya." Ia lalu menarik nafas. "Aku setuju rencanamu."

  Daviel menatap Elicya serius. "Kau tahu maksudku?"

  "Ya. Dan aku merasa bodoh tidak mau mendengarnya dari dulu. Aku minta maaf Daviel,"

  Daviel tersenyum. "Tidak masalah. Aku sudah tahu apa yang terjadi,"

  "Maksudmu? Kau memprediksi ini semua?" tanya Elicya tidak percaya.

  "Aku mengenalmu bukan baru tadi pagi Ely,"

  Elicya tersenyum. Ia lalu menyenderkan tubuhnya pada jok mobil. Nafasnya ia pelankan. Oh ia tahu sekarang maksud Daviel. Ini rencana yang begitu bagus. Sekarang lebih tenang...

  "Jadi, kau masih ingin membenciku?" Daviel kembali berbicara.

  "Tidak Daviel." Elicya masih mempertahankan senyumnya. "Aku ingin kau kembali bersahabat denganku."

  Daviel membalas senyuman Elicya. "Aku tenang kita kembali seperti dulu kembali,"

  "Sama. Ya aku juga tidak pernah akan kehilangan lagi dirimu bukan?"
  "Tentu," jawab Daviel mengangkat pundaknya. "Kita adalah sahabat yang tidak akan pernah terpisahkan. Best friend forever!"

  Elicya menatap jendela dengan masih tersenyum. Dirinya masih tidak menyangka sekarang. Ia kembali seperti sedia kala. Kini ia tidak perlu sendiri lagi.

                                 ****
  "Kau melakukan apa saja tadi?" Daviel melanjutkan pembicaraan.

  Elicya menghela nafas. "Ya... sekedar makan, lalu mengobrol dengan teman-temanku yang lama, hingga aku bertemu mantanku itu,"

  "Vicky?"
  "Tentu. Aku sedikit berbicara padanya."
  "Kau ingin menjalin cinta dengan dia lagi?"

  Elicya menggeleng. "Aku tidak tahu. Kurasa tidak. Ia juga berkata seperti itu." Ia lalu menunduk. "Dan siapapun itu, termasuk Vicky, Raine, Aline atau yang lainnya, selalu menyebut kita berpacaran,"

  "Aku sudah menebak semuanya. Sama seperti diriku. Dicecar orang mengenai hubungan pacaran." sambung Daviel bernada kesal.

  "Kurasa mereka menganggap kita terlalu mesra." lanjut Elicya.


  Hujan deras terus turun. Lama. Bahkan terus menderas. Rasanya hujan ini akan berlanjut hingga pagi.

  "Kau kedinginan Ely?" Daviel melirik Elicya.
 
  "Mm...." Elicya bergumam.

  "Oh," Daviel mengerti.

  Elicya menolak. "Tidak-tidak Daviel. Ya aku kedinginan. Tapi biar aku mengambilnya sendiri. Aku tidak mau kau memberhentikan mobilmu,"

  Daviel tidak mengucapkan sepatah kata lagi. Ia sudah tahu apa yang akan dilakukan Elicya, dan tidak perlu lagi menginjak pedal rem. Lagipula hujan, untuk mengerem, bisa tergelincir.

  Elicya menarik selimut dari belakang jok, lalu melebarkannya. Ia menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut cukup tebal itu.

  Daviel memandang Elicya.

  "Kurasa ada yang kurang,"

  Daviel tetap menginjak gas mobilnya. Satu tangannya meraih dashboard mobil lalu mengambil sebuah topi tuque.

  "Kau lebih cocok mengenakannya." ucap Daviel mengenakannya pada kepala Elicya.

  "Oh ayolah Daviel, bahaya!"

  Daviel langsung meraih kemudi. "Ini jalanan sepi Ely." Ia lalu menatap Elicya. "Kau imut seperti itu,"

  Elicya tersenyum.

  "Wajah seperti anak bayi,dan berhidung mancung setengah, padahal pesek,"

  Elicya lalu memukul pundak Daviel keras. "Aku bukan anak bayi tahu,"

  Daviel tertawa. "Tapi kau cantik bukan? Sudah-sudah. Aku lagi mengemudi sekarang."

  "Salah kau sendiri Daviel,"

                              *****

  Hujan mulai reda di rumah cukup tua. Sepi, karena sudah malam larut. Genangan tetap tersisa bekas hujan. Suhu pun terasa dingin. Kabut menyelimuti. Tetapi ini lebih baik daripada salju yang turun.

  "Kau sudah sampai di istanamu," ucap Daviel terkekeh.

  "Ya istana paling membahagiakan," lanjut Elicya senang. Ia lalu menurunkan selimutnya, dan melipatnya. Topinya ia taruh diatas dashboard.

  "Sebenarnya biar aku saja yang melipatnya." Daviel menatap Elicya sambil tersenyum.

  Elicya memutar bola mata. "Aku tak perlu tahu lagi. Kau sering berkata seperti itu Daviel."

  "Ya aku tahu, tapi aku hanya sekedar meringankan."

  Daviel lalu keluar dari mobilnya. Ia lalu membukakan pintu untuk Elicya keluar.

  "Aku sungguh berterima kasih malam ini Daviel." ujar Elicya keluar dari mobil.
  "Sudah sepantasnya bukan aku mengantarmu pulang seperti hari biasa?"

  Elicya mengangguk. "Ya.. hanya saja aku merasa aman ada dirimu tadi melewati halte di jalan yang sepi."

  "Ya aku lewat saja disitu. Jalan umum keluar dari gedung pesta macet, jadi aku lebih memilih jalan pintas."

  "Tapi..." Elicya menarik nafas, dan sedikit menunduk. "Aku ingin malam ini begitu berkesan."

  "Berkesan? Ini seperti malam biasanya bukan?"

  Elicya melangkah lebih dekat lagi dengan Daviel. Wajahnya hanya beberapa beda senti saja dengan wajah Daviel.

  "Aku ingin kau laki-laki pertama yang mencium bibirku Daviel," bisik Elicya pelan.

  Dengan perlahan, Elicya memeluk Daviel lalu mencium bibir Daviel. Daviel turut menerimanya.

  Beberapa detik Elicya berciuman dengan Daviel, lalu ia melepasnya, dan tersenyum.

  "Oke. Sekarang, kau pulang. Ini sudah larut malam. Aku tidak mau terjadi apa-apa dengan dirimu."

  Daviel membalas senyumannya. "Dan kau, tidurlah dengan nyenyak. Oke?"

  Elicya mengangguk, lalu membalikkan badannya, dan masuk kerumahnya. Ia juga turut melambaikan tangan ke Daviel.

  "Selamat Malam!" teriak Daviel dari dalam mobil.

  Lalu Elicya masuk ke dalam rumahnya.

                                     *****

Approval Of Love (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang