"Ah Ben. Rasanya aku benar-benar ingin melempar mu kelaut sekarang." Kata ku.
Dari cerita itu. Aku memetik satu kesimpulan. Bahwa Ben adalah pria yang pemaksa. Egois. Licik. Jahat. Dan masih banyak lagi.
"Aku tak tau lagi harus bagaimana. Toh juga nasi sudah jadi bubur. Aku marah pun tak ada gunanya. Kecuali aku membunuh mu, baru ada gunanya. Tapi tak akan kulakukan."kataku pasrah.
Ben hanya diam melipat bibirnya kedalam mulut. Tangannya juga sekarang sedang menahan gerakan ku yang ingin memukul dirinya.
"Mengapa kau tak ingin membunuhku? Apa karena kau tak ingin pria yang kau cintai pergi?."katanya dengan mata berbinar.
"Bukan. Aku hanya tak ingin hidup sebagai janda."kataku. Jujur.
"Apa cintaku ini sungguh bertepuk sebelah tangan."katanya sambil melepaskan tangan ku, lalu ke balkon kamarnya.
Saat ini kami sudah ada dikamar nya. Karena ceritanya tadi sangat panjang dan detail. Hingga kami memutuskan Untuk pindah dari ruang tamunya ke kamar.
Matahari pun juga sudah tak tampak lagi.
Ini sudah malam.
Aku ikut menyusul Ben yang sedang menikmati pemandangan laut malam.
"Indah yah."kataku.
Sejauh apapun mataku memandang lautan. Tapi pikiranku masih menetap dirumah ini.
"Lalu setelah pernikahan itu. Apa yang terjadi Ben?." Tanyakku.
Ben menatap ku. Lalu tersenyum. Mungkin ia sudah mengambil kesimpulan bahwa aku sudah menerimanya sebagai suamiku.
Dan itu benar.
Ben memindahkan posisinya kebelakang ku. Lalu memeluk ku dari belakang.
"Setelah itu ada seorang wanita parubaya menghampiri kita, dan mengatakan sesuatu yang membuat ku dan dirimu syok."
"Apa yang wanita itu katakan."
"Apa kau akan berjanji untuk tidak menagis?." Kata Ben menatapku serius.
"Apa itu yang ia katakan?."tanyakku.
"Bukan my Queen. Aku meminta mu untuk berjanji, karena apa yang wanita itu katakan sepertinya akan membuatmu mengingat duka lama itu." Katanya sambil mengelus rambutku.
"Aku akan usahakan. Lagi pula jika aku menangis, kan ada kau disampingku."kataku, lalu tersenyum lembut kearah Ben.
Ben menyampirkan rambutku kesamping. Dan mengecup leher jenjang ku, meninggalkan tiga tanda merah ditempat ia mengecup.
Aku hanya bisa diam. Entah ada apa dengan pria ini.
"Dia berkata, bahwa kau adalah korban jatuhnya pesawat Hercules dalam penerbangan Korea-Indonesia. Wanita itu adalah nenek mu, dia juga berkata dalam pesawat itu seluruh penumpangnya meninggal dunia karena tenggelam dilaut. Dan...." Ben memotong ucapannya.
Lalu menatapku senduh,"hanya kaulah satu-satu nya penumpang yang selamat."
Aku menutup mulutku tidak percaya. Nafasku tertahan, aku menangis tersedu-sedu. Berteriak histeris.
"Pantas Aja nenek terus menghindar saat ku tanya mengenai orang tua ku, aku pikir orang tuaku tak Menyayangiku lagi hingga mereka menitipkan ku pada nenek. Pantas saja nenek sangat marah saat aku mengatakan ingin menjadi pramugari," Batinku.
Ben memeluk ku erat,"berhentilah menagis, kau sudah berjanji tadi. Tenanglah kau ada bersamaku, semuanya akan baik-baik saja."katanya sesekali mencium puncuk kepalaku.
Tapi aku belum juga berhenti menangis. Karena ini adalah suatu yang sulit aku terima. Aku sangat terpukul. Ini adalah duka yang sangat mendalam.
Lalu perlahan-lahan. Semua kejadian itu. Kejadian saat aku mulai berencana kerumah nenek dengan wajah bahagian bersama kedua orang tua ku, saat dipesawat mereka mengatakan,"hiduplah dengan banyak 'suka' dan lupakan semua 'duka'mu, kami akan selalu ada Dihatimu. Kemanapun kau berada walau kami suatu saat tak akan lagi bisa bersama mu Retisa Arabella," dengan senyuman hangat kedua orang tuaku. Hingga tragedi itu terjadi.
Kepalaku tiba-tiba pusing. Dan semuanya menjadi gelap. Terakhir Hanya suara Ben yang terus menggema memanggil namaku.
Original Story By;
Sheriligo
KAMU SEDANG MEMBACA
Retisa Arabella [Jefferson] ✔️
De Todo[COMPLETED] what that you think about distant past? Entahlah. Semuanya terjadi begitu saja. Dan aku tak tahu harus apa. Pujian-pujian itu membawa suka disekilingku, tapi malah berakhir menjadi sebuah duka kala itu. Terus seperti itu. Hingga aku ber...