5 - Aku menantu Jefferson

365 30 0
                                    

"Huft... Apa benar yang dikatakannya itu?." Aku menatap lautan diluar balkon itu,"tapi mengapa aku tak mengingat sosoknya sama sekali."

Rasanya sangat damai dirumah ini. Sunyi tapi membuatku nyaman.

Aku bertanya-tanya Kemana semua penghuni rumah ini. Apa ia tinggal sendirian?

Aku berusaha turun dari tempat tidur. Kurasa sudah saat nya aku bangkit dari duka itu. Ini sudah minggu kedua aku berada dirumah ini.

Dan selama itu pun aku terus dirawat bak seorang pasien berharga oleh Ben.

Dan aku juga baru tahu ternyata ini adalah sebuah kamar. Buka rumah sakit.

Ku edarkan pandangan ku ke bawah, mencari-cari sendal rumahan untuk kugunakan keliling rumah Ben.

Tapi tak ada apapu. Hanya ada karpet abu-abu dari bulu asli dibawah sana."pasti ini karpet mahal lagi. Sekaya apa sih suamiku ini?." Aku dengan cepat menggeleng kepalaku. Mengenyahkan pemikiran ku yang mulai menerima keadaan ku. Sebagai menantu Jefferson.

"Apa perhatian yang ia berikan padaku seminggu ini sudah membuat ku luluh. Astaga Retisa! Bodohnya kau. Ini terlalu cepat" Aku membentur-benturkan kepalaku pelan disandaran tempat tidur.

Tak percaya dengan diriku yang dengan cepat menerima dirinya.

Ada sesuatu yang empuk tiba-tiba saja menjadi pengalas kepalaku yang membentur sandaran tempat tidur.

"Aku mohon jangan menyakiti dirimu sendiri. Itu membuat ku terluka juga." Kata Ben.

Dia memegang kepalaku. Dan mencium pincuk kepalaku.

Wajahku memerah. Dan jantung ku berdegup kencang. Astaga!! Ada apa ini? Hatiku mulai menghianati pikiranku.

"Kenapa kau melakukan ini? Sedangkan aku sama sekali tak mengingat mu." Ucapku menunduk. Tak mau ia melihat rona merah di wajahku.

"Itu tidak masalah bagiku, walau aku sedikit sakit hati. Tapi aku senang karena sepertinya ragamu masih mengingat keberadaan diriku." Ucapnya.

"Dari mana kau tau hal itu?." Tanyakku yang mendongak menatapnya.

Astaga dia sangat dekat.

"Aku bisa tau dari suara jantung mu yang berdegup kencang hanya untuk ku seorang." Katanya yang sudah memposisikan kepalanya didada kiriku.

Karena kaget. Aku tak merespon apa-apa dan hanya dia tercengang.

Dia menjauhkan kepalanya. Menatapku. Kemudian mengulurkan tangannya.

Mau apa dia.

"A-apa yang kau lakukan!." Dia menggendong ku.

"Hap.. Kau pasti merasa kesepian jika terus berada dikamar kan. Jadi aku akan membawamu keliling." Katanya yang sedang menggendong ku ala bridal stlye.

"Ta-tapi kan aku bisa jalan sendiri. Cepat turunkan aku." Aku meronta dalam gendongan nya.

"Tapi kau masih rapuh. Aku takut kau akan melukai dirimu. Diam saja, aku ini kan suamimu, tak perlu malu begitu." Katanya sambil cengengesan.

"Ya ampun... Ya sudahlah. Lagi pula kau tak akan mendengarkan akukan. Kau saja yang boleh bicara dan aku tidak." Kataku pasrah, sambil mengalihkan pandangan ku ketempat lain. Kecuali wajah tampan itu.

Dia membawaku keluar kamar. Saat sudah diluar. Mataku membelalak. Sebesar apakah rumah Ben? Tangganya sungguh indah, dan ada karpet merahnya juga.

 Sebesar apakah rumah Ben? Tangganya sungguh indah, dan ada karpet merahnya juga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tunggu sebentar. Mengapa tangga ini sama seperti didalam mimpiku.

"Siapa yang mendesain bentuk tangga ini?." Tanyakku kepadanya yang menuruni tangga sambil menggendong ku.

"Tentu saja aku. Ini kan rumah ku, semuanya dibuat sesuai keinginanku. Dan ini rumah mu juga sebagai menantu Jefferson" Katanya sambil terus menatapku.

"Bisakah kau fokus pada Langkahmu. Bisa-bisa kita jatuh karena kau tak juga berhenti menatap ku terus." Ucapku kesal.

"Aku tidak bisa. Aku takut kau akan hilang jika aku mengalihkan pandanganku sedetik saja." Ucapnya dengan senyuman yang indah.

"Ya sudahlah. Terserah kau saja." Ucapku memandang kearah lain.

Lalu dia mengecup kening ku.

Ini kecupan yang entah ke berapa kalinya. Aku sudah pasrah dengan tingkahnya ini.

Kami akhirnya berada disebuah pintu. Pintu yang sangat besar. Pintu itu terbuka otomatis saat kami sudah ada didepannya.

Rumah yang cerdas. Aku tersenyum kecil.

Diluar sana aku langsung disuguhkan dengan pemandangan menyejukkan mata. Ini bukan dimana pun karena kalau di Indonesia aku pasti langsung mengenali tempat ini.

Tak bisa diragukan lagi. Ini bukan Di Indonesia. Jadi dimana ini?

"Apa kita sungguh ada di pulau pribadi milik mu?." Kataku menatap wajah diatas ku ini.

"Tentu saja. Memangnya dimana lagi."

"Tapi mengapa aku bisa disini?."

"Mungkin ini memang takdir kita untuk bertemu untuk yang kedua kalinya." Ucapnya.

"Akh!." Aku kesal. Apa ia sedang modus?

"Apa ada yang sakit?." Dia khawatirku.

"Aku kesal Padamu."

"Kenapa?."

"Bisakah kau menjawab ku dengan serius. Maksudku bertanya, adalah untuk mendapat jawaban logis, seperti mengapa aku terdampar disini?." Kataku menjelaskan.

Tapi dia. Malah tersenyum lalu mencium bibir ku singkat.

Aku kaget. Tapi tidak bisa berkomentar wajahku pasti memerah.

"Hmm... Mungkin kau jatuh dibagian laut yang hampir dekat dengan pulau ini dan terbawa arus sampai kesini, karena luka badanmu tak seperti telah lama berada didalam air." Katanya sambil berjalan menuju sebuah mobil.

Dia memanjat untuk menaiki mobil ini. Dan memposisikan diriku dipangkuannya.

"Bi-bisakah aku duduk di sana saja. Ini membuatku merasa aneh dengan posisi ini." Ucapku menunjuk sebuah kursi penumpang Disampingnya.

"Kau duduk saja. Jika kau jauh dariku 1 cm saja aku bisa gila jadinya." Katanya yang mulai melajukan mobilnya menjauhi rumah itu.

"Ya sudahlah. Terserah kau saja." Kata ku pasrah. Lagipula tak akan ada yang melihat kami seperti ini. Hanya ada kami berdua dipulau ini.

Original Story By;
Sheriligo

Retisa Arabella [Jefferson] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang